Siswanto
(33 th) merupakan seorang pelaku sodomi dan pembunuhan terhadap 8 anak jalanan
yang sempat gencar oleh pemberitaan media massa pada tahun 1997. Dia kerap
disebut sebagai “robot gedek” karena seringkali menggeleng-gelengkan kepalanya
dan terlihat seperti robot gedek ketika sedang berjalan. Dalam kesehariannya
sebagai pemulung, Siswanto seringkali mensodomi anak laki-laki jalanan. Dengan
modus membujuk seorang anak jalanan dengan janji diberikan uang seribu dua ribu
untuk dibawa ke suatu tempat. Kemudian dalam perjalanan anak tersebut dibawa ke
sebuah tempat sepi dan langsung disodomi. Tidak hanya sodomi, Siswanto juga
menghabisi nyawa anak tersebut (Museum Polri,
2009). Anehnya, saat pemeriksaan polisi ternyata Siswanto tidak merasa
bersalah dan mengaku hal tersebut merupakan pemenuhan nafsu birahinya. Dia
mengaku akan pusing jika tidak melakukan hal tersebut. Karena kasus yang
menimpanya terhitung berat, maka Siswanto divonis hukuman mati oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat namun sayangnya Siswanto sudah meninggal sebelum
dieksekusi.
Mengapa
Siswanto begitu tega mensodomi dan membunuh anak jalanan? Tentu hal tersebut
menjadi sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh beberapa disiplin ilmu
terutama psikologi dan lebih khususnya lagi psikopatologi. Dalam psikopatologi,
Siswanto jelas mempunyai sifat yang melekat dalam dirinya yang dibentuk melalui
nature and nurture. Nature merupakan sifat-sifat yang
melekat pada individu melalui penurunan sifat secara biologis seperti turunan
genetika, struktur otak dan syaraf (Getzfeld,
2004). Sedangkan Nurture
merupakan sifat-sifat yang melekat pada individu berdasarkan sosialisasi yang
didapat seperti kemampuan bersosialisasi, seperti learning ability. Dalam segi nature
akan dijelaskan bagaimana kasus robot gedek terjadi seperti aspek kognitif
seperti IQ dan struktur otak. Kemudian dari segi nurture yaitu learning
disabilities, self control, attitudes, dan sociocognitive. Terakhir, saya akan menjelaskan keterbatasan
analisis psikologi pelaku kejahatan supaya pembaca dapat mencari bahan bacaan
pertimbangan untuk memperluas wawasan tentang sebab musabab pelaku
kejahatan.
Kecerdasan
(IQ)
Kecerdasan
atau lebih tepatnya IQ merupakan sebuah sesuatu yang diturunkan secara genetika
induknya. Sehingga kemungkinan besar jika orang tua memiliki IQ yang tinggi
maka hal yang sama akan terjadi kepada anaknya. Dibalik itu, memang sebenarnya
tidak patut kita menjustifikasi bahwa IQ adalah tolak ukur kecerdasan, namun
tidak dipungkiri pula IQ masih digunakan untuk menentukan kecerdasan karena
memiliki tolak ukur yang jelas. Dalam kasus robot gedek maka dapat disimpulkan
bahwa Siswanto memiliki tingkat IQ tertentu sehingga dapat melakukan tindak
kejahatan. Sebenarnya semua tingkat IQ mempunyai tingkat kemungkinan melakukan
kejahatan yang sama, namun yang membedakan adalah jenis kejahatan yang
dilakukan dan tingkat kemudahan dalam mendeteksi kejahatan. IQ yang rendah maka
umumnya merupakan kejahatan jalanan dan mudah dicari jejak pelakunya.
Sebaliknya, IQ yang rendah maka jenis kejahatan yang dilakukan kemungkinan
kejahatan kelas atas ataupun kejahatan jalanan yang pastinya susah dideteksi
keberadaannya. Karena kejahatan Siswanto termasuk kejahatan jalanan dan
ternyata mudah terbukti perbuataannya maka diperkirakan pelaku memiliki IQ yang
rendah. IQ rendah tersebut menjadikan Siswanto memiliki problem solving yang kurang sehingga mudah melakukan tindak
kejahatan sebagai alternatif utamannya.
Struktur
Otak
Neuroscience
merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang sistem dan fungsi syaraf
otak yang biasanya berhubungan dengan kognisi seseorang. Dalam kasus robot
gedek maka dapat disimpulkan bahwa sistem syaraf pelaku sedang mengalami
kerusakan sehingga fungsi syaraf otak seksual tidak berorientasi dengan benar.
Ditambah lagi kerusakan di sistem syaraf otak yang mengatur rasa simpati dan
empati dalam diri pelaku sehingga tega membunuh anak-anak setelah disodomi.
Tentunya dalam hal ini, Siswanto dimungkinkan pernah mengalami kejadian sesuatu
yang dapat merubah fungsi otaknya hingga dapat berperilaku sebagai penjahat.
Ketidakmampuan
belajar (Learning disablities)
Ketidakmampuan
belajar ditandai dengan adanya antisocial
development yang berupa pembangkangan dalam proses belajar Siswanto. Dengan
kasus sodomi dan pembunuhan yang merupakan perilaku tidak wajar maka proses
belajar Siswanto dipastikan memiliki ketidakwajaran. Proses yang tidak wajar
tersebut ditandai dengan pembangkangan terhadap nilai-nilai yang diajarkan oleh
agen-agen sosial seperti keluarga, teman sepermainan, dan sekolah. Kemudian
pencapaian prestasi juga mengakibatkan seseorang menjadi seorang pejahat seperti
Siswanto. Pencapaian prestasi yang diukur dengan kemampuan mengetahui nilai
luhur dalam masyarakat seperti toleransi, perikemanusiaan, hak asasi manusia,
tenggang rasa, kejujuran dan nilai-nilai lain dirasa telah gagal diperoleh
Siswanto. Dalam kegagalan pencapaian prestasi tersebut, maka Siswanto cenderung
mendapat tekanan dan cap buruk dari masyarakat sehingga cap tersebut malah
mendukung Siswanto untuk bertindak nakal hingga jahat.
Kontrol
diri dan tekanan hati
Kontrol
diri sangat berpengaruh dalam menjaga individu untuk tidak berperilaku jahat.
Kontrol diri merupakan hasil dari proses belajar seseorang sehingga apabila
seseorang terbilang sukses dalam proses belajar, maka kontrol diri semakin
kuat. Siswanto dalam melakukan sodomi dan pembunuhan terhadap 8 anak dapat
dikatakan kontrol diri Siswanto sangat kurang. Ditambah lagi pernyataan
Siswanto dimana tidak ada rasa bersalah dalam dirinya karena menganggap
kejahatan tersebut adalah sebuah kebutuhan. Hal ini proses belajar pelaku yang
mengalami masalah saat timbul pandangan bahwa kejahatan adalah kebutuhan yang
membuat kontrol diri menjadi lemah. Selain kontrol juga terdapat tekanan hati
atau impulsivity yang mampu menahan seseorang untuk tidak melakukan kejahatan.
Siswanto ternyata tidak memiliki tekanan hati yang kuat untuk menahan diri
mensodomi anak jalanan dan membunuhnya.
Sikap,
nilai, dan kepercayaan
Dari
penyataan bahwa sodomi dan pembunuhan adalah sebuah hal biasa oleh Siswanto,
maka dapat dianalisis bahwa sikap, nilai, dan kepercayaan mengalami
ketidakwajaran. Dimulai dari sikap dengan analisis teori psikoanalisa yaitu id,
ego, dan superego, maka Siswanto memiliki masalah dalam tataran superego dimana
tidak ada rasa tanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Rasa
perikemanusiaan dan kasih sayang kepada anak-anak terutama anak jalanan hilang
pada diri pelaku. Padahal perlu diketahui bahwa superego adalah tahap
terpenting bagi individu agar dapat berperilaku normal dan diterima oleh
masyarakat. Dari segi nilai dan kepercayaan menurut teori subkultur, Siswanto
memiliki kepercayaan dan nilai subkultural seperti menolak kebiasaan rutin
masyarakat, ketertarikan dengan hal yang berbeda dengan umumnya masyarakat, dan
segala nilai kepercayaan yang buruk bagi masyarakat namun baik dimata Siswanto.
Hingga akhirnya dengan sadar menjustifikasi bahwa kejahatan pada dirinya adalah
sebuah kebutuhan.
Sosiokognitif
dan kemampuan interpersonal
Sosiokognitif
dan kemampuan interpersonal terbagi menjadi tiga yaitu role taking, emphaty, dan
guilt. Role taking adalah proses pada kemampuan individu untuk mengambil
peran di dalam masyarakat. Perilaku
abnormal yang terjadi pada Siswanto mengindikasikan bahwa dia mempunyai
kemampuan role taking yang buruk
dalam masyarakat. Dia cenderung tidak dapat menempatkan diri sebagai orang
dewasa yang seharusnya melakukan hubungan seksual kepada istrinya yang berjenis
kelamin perempuan dan sama-sama dewasa, bukan kepada anak-anak yang memiliki
jenis kelamin yang sama. Siswanto ternyata gagal menempatkan diri sebagai orang
dewasa yang bijak pelindung anak-anak sehingga rasa empati hilang pada dirinya.
Empati kepada anak-anak jalanan yang mestinya dia lindungi dan dikasihi karena
kurang perhatian oleh orang tua,
Siswanto malah melakukan hal yang tidak pantas dilakukan dengan mensodomi
dan membunuh secara sadis. Ditambah lagi perasaan tidak bersalah dalam diri
Siswanto menjadikan kemampuan interpersonal menjadi bertambah buruk.
Keterbatasan
analisa Psikologi dalam menganalisis kasus kejahatan
Seperti
yang dikatakan sebelumnya, psikologi hanya
mampu melihat sebuah kejahatan dengan
cara pandang tersendiri yaitu sebab musabab individu pelaku. Sehingga psikologi
mempunyai sebuah stand point
tersendiri dan fokus terhadapnya dalam melihat kejahatan. Tentunya hal ini
menjadikan sebuah kelemahan dari psikologi itu sendiri karena kejahatan sangat
luas dapat dipandang dari sisi pelaku, kejahatan sendiri, korban, dan reaksi
sosial. Sehingga perlu sekali bagi para pembaca khususnya para kriminolog untuk
mengkaji lebih dalam dari sisi ilmu disiplin lain selain psikologi seperti
sosiologi, komunikasi, politik, ekonomi, hukum, kedokteran, dan lainnya. Hal
ini akan menambah wawasan untuk mengetahui secara luas mengapa kejahatan itu
ada sehingga diperoleh penjelasan yang
komprehensif.