Pages

Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan
4 komentar

Budaya Ciu dan Perjuangan Kelas


Ciu bukan hanya sekedar minuman, lebih dari itu, yaitu sebuah perjuangan.

Bagi masyarakat Jawa khususnya Soloraya (Kota Solo dan sekitarnya), istilah ciu tidaklah asing. Ciu merupakan salah satu jenis minuman beralkohol tradisional yang terbuat dari tetes tebu yang difermentasikan kemudian dimurnikan. Dengan kadar golongan alkohol menengah  sekitar 35%, ciu telah menjadi minuman sosialita bagi masyarakat kelas bawah. Mereka cenderung memilih ciu daripada minuman beralkohol bermerk karena harganya yang murah yaitu sekitar Rp. 6000,00 per liternya. Ciu banyak dijumpai dibeberapa tempat di Soloraya khususnya di Bekonang secara tersembunyi maupun terbuka. Rasa ciu juga tidak kalah keras dengan minuman sekaliber vodka, bahkan menurut masyarakat rasa ciu lebih mantap.

Dalam tulisan ini, saya memandang bahwa terdapat sisi berbeda dari ciu yang tidak dimiliki oleh minuman beralkohol lain. Point of view pertama saya adalah ciu merupakan produk budaya masyarakat. Produk budaya pada dasarnya merupakan hasil dari proses berpikir manusia sebagai anggota masyarakat. Hasil tersebut terbagi menjadi tiga yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak. Ciu di sini termasuk artefak karena bentuknya yang konkrit dapat dirasakan oleh lima panca indera manusia.

Untuk menjadi sebuah produk budaya, ciu telah mengalami proses pembentukan yang cukup panjang. Dimulai dari asimilasi dari budaya penjajah Belanda dan pribumi, ciu telah diadaptasi dengan kebudayaan asli pribumi. Ciu pada awalnya datang dari penjajah Belanda yang kemudian diturunkan kepada pribumi. Para penjajah memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol di saat berperang ternyata menarik minat pribumi untuk mempelajarinya. Kehadiran ciu masa itu ternyata mampu memenuhi aspirasi sosio-kultural masyarakat pribumi. Setelah mahir membuat ciu, masyarakat pribumi kemudian mengadopsi ciu dalam produk budaya lain seperti tari tayub, gotong royong dalam mengadakan pesta pernikahan (sinoman), maupun kegiatan berkumpul antar warga (jagongan).

Point of view kedua saya adalah ciu adalah simbol perjuangan kelas bawah terhadap tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kelas atas dalam masyarakat kapitalis. Dalam memandang konteks sekarang, ciu telah datang untuk bersaing dengan produk-produk minuman beralkohol bermerk yang hanya dapat dinikmati oleh kelas atas. Saya melihat bahwa ada perubahan aspirasi masyarakat dari sosio-kultural menjadi sosio-ekonomi dalam masyarakat. masyarakat kelas bawah sekarang ini mulai berlomba membuat minuman beralkohol tandingan. Aksi saling tindas menindas dalam sebuah konflik kelas sudah tidak terhindarkan.

Budaya ciu

Ciu memiliki berhubungan erat dengan budaya Jawa. Dahulu masyarakat Soloraya kerap mengadakan acara tayuban ketika panen padi tiba. Tayuban adalah salah satu jenis tarian untuk ungkapan syukur kepada Dewi Sri atas keberhasilan panen. Para penari laki-laki tayub meminum ciu sebelum menari dengan penari tayub perempuan (ledek). Ciu dianggap mempunyai kekuatan sakral dalam tarian tersebut. Manfaat tayuban secara tidak langsung merupakan sebuah sarana untuk membangun rasa kebersamaan dalam bermasyarakat. Selain tayuban dalam acara pesta perkawinan juga terdapat sinoman, biasanya pemilik acara juga menyuguhkan ciu untuk para pemuda yang telah membantu proses pesta pernikahan. Ciu menjadi simbol terima kasih atas bantuan yang diberikan. Selain itu, ciu juga berguna untuk mengobati rasa lelah saat bergotong royong membantu sang pemilik acara.  

Dalam kehidupan sehari-hari, ciu telah menjadi minuman di kala berkumpul antar warga. Pola perilaku para peminum dapat dikatakan berbeda dengan biasanya. Dari kebanyakan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah, umumnya menjelaskan bahwa minuman beralkohol adalah penyebab terjadinya kejahatan. Hal tersebut sangat berbeda jika di daerah Soloraya. Pola perilaku meminum ciu hanya digolongkan sebagai penyimpangan sosial karena tidak merugikan orang lain. Para peminum ketika mabuk umumnya masih memiliki kontrol diri. Mereka berbicara tidak jelas (nglantur), curhat, dan berteriak untuk melepaskan rasa penat yang telah terpendam. Jika mereka sudah sadar, mereka akan merasa lebih tenang dan rileks.

Dari sosio-kultural ke sosio-ekonomi

Saya melihat ciu telah terjadi peralihan aspirasi dari segi waktu. Pada awal kedatangan, ciu merupakan sebuah alat pemenuhan aspirasi sosio-kultural masyarakat. Dengan bukti bahwa ciu mampu berkolaborasi dengan produk budaya asli pribumi, walaupun hanya sebagai pelengkap. Cara mudahnya jika diungkapkan seperti ini “jika tanpa ciu, tayuban jadi kurang bergairah” atau lebih mudah lagi “sayur terasa hambar jika tanpa garam”. Produk budaya seperti tayuban dan sinoman adalah produk-produk yang diilhami oleh masyarakat kelas bawah. Ciu telah mampu menghangatkan masyarakat sebagai penghapus rasa jenuh dan bosan masyarakat terdahulu. Dengan kata lain, kepuasan batin masyarakat telah terpenuhi dengan hadirnya ciu di kala itu.

Sekarang ini kapitalisme telah merubah tatanan masyarakat yang terbagi menjadi kelas atas dan bawah. Masyarakat kelas atas semakin menunjukkan taringnya sebagai pemegang kendali masyarakat. Akibatnya, produk budaya masyarakat kelas bawah yang merupakan masyarakat terdahulu mulai terkikis seiring dengan adanya globalisasi dan teknologi. Masyarakat mulai berpikir bahwa aspirasi sosio-kultural sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.  Desakan-desakan kebutuhan ekonomi yang diciptakan kapitalis ternyata sulit dipenuhi oleh masyarakat kelas bawah. Maka dari itu, aspirasi ciu tidak cukup hanya sebagai budaya semata, namun beralih menjadi sosio-ekonomi.

Ciu akhirnya diproduksi secara besar-besaran untuk menandingi produk minuman beralkohol pabrikan impor dan lokal. Konflik ekonomi antar kelas sangat terasa dimana aksi saling tindas dan serang terjadi. Pihak kelas atas berusaha membuat peraturan agar ciu dapat dikatakan ilegal dan berbahaya. Hal tersebut juga didukung oleh media massa supaya ciu dikontruksi sebagai hal yang buruk. Ditambah lagi, para penegak hukum kadang juga tidak berdaya menghadapi tawaran sebagai pelayan kapitalis. Tetapi masyarakat kelas bawah ternyata juga tidak ingin kalah. Dengan operasi gerakan bawah tanahnya, ciu tetap saja sampai di tangan konsumen tanpa diketahui oleh alat para kapitalis. Begitu seterusnya dan berulang-ulang karena pada dasarnya motif ekonomi tidak akan pernah berhenti diperebutkan.   

Pelampiasan masyarakat kelas bawah

Tidak semua kelas bawah akan terus mampu berkonflik dengan kelas atas. Sebagian dari mereka akan menyerah ketika sumber daya mereka sudah tidak mencukupi. Tekanan-tekanan kelas atas  akan membuat mereka distress. Kadang mereka tidak kuat menahan tekanan batin mereka. Masalah ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, dan hutang umumnya dialami oleh kelas bawah. Dalam kondisi ini, ciu secara sosial telah mampu meredam rasa sakit masyarakat kelas bawah atas tekanan kapitalis.

Masyarakat kelas bawah yang didominasi oleh para buruh. Mereka bekerja setiap hari dari pagi hingga malam. Terlepas dari konteks agama, ciu telah mampu mengurangi rasa sakit mereka. Harganya yang terjangkau membuat sebagian besar buruh di Soloraya mengaku selepas bekerja mereka sering meminum ciu. Dengan catatan, ciu tersebut tidak dioplos dan diminum dengan aturan tertentu. Hasilnya, badan dan pikiran mereka terasa segar kembali. Segala permasalahan yang dihadapi seolah-olah hilang sejenak sehingga mereka dapat fokus bekerja. Para buruh juga berpendapat jika mereka tidak meminum ciu, maka mereka akan melapiaskan distress dengan melakukan hal yang lebih buruk seperti kekerasan dalam keluarga, pencurian, dan segala bentuk kejahatan lain.

Budaya melawan kapitalisme

Kapitalisme yang dijanjikan dapat meningkatkan kualitas masyarakat ternyata telah ingkar. Semangat kapitalisme yang dikobarkan ternyata hanya menyengsarakan masyarakat. Kapitalisme adalah sebuah paham yang lunak tetapi diam-diam kejam membunuh. Pertimbangan untung rugi hanya akan membawa kerusakan dan kerakusan karena bukan berasal dari jati diri masyarakat. Maka dari itu, perlu adanya perlawanan terhadap kapitalisme dengan memanfaatkan kearifan lokal budaya. Ciu sebagai kearifan lokal telah mampu membangkitkan semangat kebersamaan dan persaudaraan masyarakat kelas bawah.

Ciu adalah simbol sekaligus alat perlawanan terhadap ketidakadilan yang diciptakan kapitalisme. Selain itu, ciu merupakan salah satu potensi kekuatan kelas bawah, maka dari itu inovasi harus dilakukan secara kontinu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan diversivikasi untuk menandingi produk-produk kapitalisme. Saat ini sudah banyak para akademisi yang telah belajar tentang ciu. Produk baru dari ciu telah berhasil dikembangkan seperti etanol, bioetanol, pupuk cair, jamu, dan saus rokok. Dengan ini maka ciu dapat memperluas pasaran dan mampu menyaingi berbagai produk kapitalis. Jika berhasil, maka ekonomi kerakyatan akan tercipta dan seluruh masyarakat dapat hidup sejahtera. 

2 komentar

Babad Tanah Bekonang


Tersebutlah desa yang terletak di timur Sungai Bengawan Solo. Sebuah desa kecil, tanahnya subur, namun terisolasi dan masih banyak warga yang miskin. Terlihat berjajar rumah gedhek (rumah dari bambu) tua warga di desa. Tiap pagi hingga sore, pemuda desa hampir menghabiskan seluruh waktunya untuk bersantai, seolah hanya pasrah kepada alam. Generasi tua pun sama, hanya pasrah menuggu ajalnya jika tiba. Sebuah desa yang sepi dan mati, banyak pendatang luar yang tidak tahu keberadaan desa tersebut. Jika tahu sekalipun juga enggan datang ke desa tersebut.

Kelaparan masih dijumpai di rumah-rumah warga. Kala itu warga belum tahu cara menanam dan berternak dengan benar. Alam subur telah memanjakan mereka sehingga mereka malas. Makanan mereka pun seadanya. Makan nasi juga ketika berhasil panen saja, jika tidak mereka hanya memakan singkong dari hutan.

Pada suatu hari, ketua desa mulai berpikir bagaimana cara untuk mengatasi kemiskinan di desanya. Dibuatlah semacam upacara religi untuk menolak bala rasa malas warga. Berbagai macam makanan sederhana dibuatnya untuk disuguhkan kepada Sang Penguasa Bumi dan Langit. Nasi tumpeng, lauk pauk, dan jajanan tradisional seadanya sudah disiapkan. Doa dan mantra dukun dan ketua desa mengiringi proses tersebut dengan khidmat. Dimintanya untuk didatangkan seorang sosok yang mampu melakukan perubahan desa ke arah yang lebih baik.

Ternyata Tuhan mengabulkan doa mereka, tidak lama kemudian datang seorang pemuda pengembara ke sebuah desa. Dia adalah seorang mantan perwira perang dari Kerajaan Majapahit yang ingin menjauhkan diri dari politik kerajaan. Perawakannya terlihat besar, tegap dan terlihat masih muda. Berbeda dengan pemuda di desa dengan perawakan kerempeng, lesu, dan malas. Warga desa tertegun diam ketika melihatnya, terlebih para gadis desa. Mereka berkumpul dan bertanya-tanya siapa dan untuk apa pemuda gagah pergi ke sebuah desa yang miskin ini.

Pemuda gagah itu kemudian tinggal menetap di salah satu rumah warga. Beruntung sekali sang pemilik rumah, tiap hari pekerjaan rumah dibantunya. Sifat rajinnya akhirnya terdengar sampai ke penjuru desa. Pemuda desa merasa malu. Seolah-olah muka malas mereka tertampar oleh tindak tanduk sang pengembara itu. Selain rajin, pemuda tersebut juga pintar. Dia kumpulkan pemuda-pemuda desa agar untuk diajari bertenak ayam, bebek, dan kambing. Ternyata para pemuda desa terkagum-kagum dengan kepintaran pemuda pengembara. Lama kemudian hewan ternak desa berkembang pesat. Para petani juga dia kumpulkan untuk diajari cara bertani dan berkebun yang benar. Karena ilmunya, warga desa akhirnya bebas dari kelaparan.

Karena jasanya, pemuda tersebut akhirnya diberi nama Kyai Konang oleh ketua desa. Konang yang berarti kunang-kunang, serangga yang mampu menyinari malam ketika gelap. Kyai Konang dianggap telah mampu menyinari desa dari masa suram yang dihadapinya. Kyai Konang lama-lama menjadi terkenal karena cerita menggembirakan ini ternyata terdengar sampai di luar desa. Banyak desa yang dulunya merasa gengsi jika pergi ke desa ini akhirnya tergerak untuk pergi karena mendengar cerita Kyai Konang.

Semakin lama desa itu menjadi ramai dan dipenuhi pendatang. Mereka datang untuk berbisnis hasil bumi kepada warga. Mendengar peluang ini, akhirnya Kyai Konang berinisiatif membuat sebuah pasar tradisional. Pasar tersebut diberi nama Pasar Bekonang karena lidah masyarakat jawa lebih nyaman menyebut “mbekonang” daripada konang. Dengan para warga, Kyai Konang akhirnya berhasil membuat sebuah pasar yang ramai. Segala hasil bumi hampir semuanya ada di sini. Pajak pasar juga ditarik demi pembangunan desa. Akhirnya dengan fasilitas memadahi, desa itu menjadi pusat perekonomian di timur Sungai Bengawan Solo.

Karena belum mempunyai nama, maka desa tersebut dinamai Desa Bekonang. Nama itu diambil dari nama pasar dan Kyai Konang sebagai bentuk penghargaan dari warga desa. Selain itu, para pendatang juga lebih akrab menyebut desa ini dengan nama Desa Bekonang. Desa Bekonang yang dulunya miskin telah berubah menjadi desa yang megah. Lama-lama desa ini menjadi ramai dengan aktivitas jual beli. Warga yang dulunya miskin, kini mulai muncul saudagar-saudagar kaya.

Kyai Konang kemudian meninggal dunia di usianya yang cukup tua. Warga merasa sedih dan merasa kehilangan. Atas jasanya, mereka membangun pemakaman khusus untuk Kyai Konang yang sampai saat ini masih ada di Desa Bekonang. Warga desa sampai sekarang juga masih berziarah ke makam Kyai Konang. Kyai Konang adalah ikon dari optimisme atas kebangkitan warga Bekonang.

Desa Bekonang saat ini telah menjadi wilayah Kabupaten Sukoharjo. Tidak lagi menjadi desa, Bekonang telah menjadi kota dari Kecamatan Mojolaban. Sebuah kota kecil dan asri di tengah luasnya hamparan sawah hijau. Warga Bekonang juga terkenal rajin, setiap pagi subuh warganya sudah ramai beraktivitas. Pembangunan di Bekonang terus dikebut, terutama Pasar Bekonang. Sekarang telah berdiri megah bangunan pasar tradisional hasil revitalisasi oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Terima kasih Kyai Konang. Jasamu akan kami kenang selalu.

0 komentar

Pak Sabar

Di usia tuanya, Pak Sabar masih setia memperkenalkan alkohol produk warga desa kepada pengunjung.
Sumber gambar: http://feriyuniar.blogspot.com


“Saya hanya ingin masyarakat di sini bebas dari kemiskinan, itu saja!” (Pak Sabar)



Terlihat sangat kecil Pak Sabar dari jauh pinggir sawah. Seperti biasa setelah sholat subuh, beliau langsung pergi ke sawah. Badannya kurus, rambutnya beruban diterangi hangatnya terik matahari pagi. Dengan umurnya yang sudah kepala tujuh, ternyata beliau masih mau pergi ke tengah sawah. Sambil membawa tongkat,  dia mengecek panen padi. Dengan memakai berbaju lusuhnya, siapa sangka jika dia adalah seorang ketua paguyuban alkohol dan ketua koperasi di Bekonang. Semua orang di Bekonang kenal beliau. Beliau terkenal ringan tangan membantu warga dalam menyelesaikan masalah terutama ekonomi.

Selama hidup, Pak Sabar sudah banyak makan asam garam. Pengalaman dalam bidang koperasi beliau tidak dapat diragukan lagi. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Sapta Usaha yang dirintisnya semenjak remaja, sekarang telah mampu menggerakkan sebagian besar pemuda Bekonang. Berbagai penghargaan setingkat nasional pernah beliau raih. Penghargaan terbesarnya adalah penghargaan dari menteri koperasi di era Soeharto. Pernah beliau mendapatkan bantuan modal dua miliar pada jaman itu. Sebuah angka yang sangat fantastis pada masa itu langsung beliau gunakan untuk memperkuat ekonomi masyarakat Bekonang.

Unik dan sukar dipercaya, Pak Sabar hanya menggunakan kepercayaan sebagai jaminan ketika warga meminjam. Justru dengan jaminan kepercayaan inilah KSP tetap berdiri kokoh dalam terjangan krisis ekonomi. Selain itu, kepercayaan menjadikan masyarakat tidak terbebani jika meminjam uang. Sebaliknya masyarakat juga tahu diri akan kewajiban mengembalikan. Masyarakat malu kepada Pak Sabar jika tega tidak membayar pinjaman. Sampai saat ini, anggotanya terus bertambah mulai dari pengusaha kecil, pedagang pasar, hingga petani.

Terik matahari semakin panas, waktunya Pak Sabar pulang ke rumah. Sebagai ketua KSP, rumah Pak Sabar terlihat sederhana. Di ruang tamunya terlihat foto-foto kegiatan koperasi dan berbagai penghargaan yang diraihnya. Di meja kerjanya terlihat buku dan beberapa kertas yang berisi laporan keuangan KSP. Setiap sore Pak Sabar mengecek laporan keuangan dengan kalkulator pasar besarnya. Unik memang, di usia senjanya Pak Sabar ternyata masih mampu mengerjakan akuntasi KSP miliknya. Pikiran beliau juga masih segar ketika diajak berdiskusi tentang ekonomi. Dengan gaya bicaranya yang kalem, banyak pemuda yang mendengarkannya dengan cermat. Kata-kata beliau sangat dinanti-nanti oleh mereka.

Selain koperasi, Pak Sabar ternyata ahli dalam membuat alkohol. Keahlian ini dapatkan dari sang kakek. Kakek beliau adalah orang pertama yang diajari Kompeni Belanda untuk membuat alkohol. Saat ini, Pak Sabar dapat dikatakan sebagai orang yang paling senior dalam membuat alkohol. Keahlian ini juga diturunkan kepada anak-anaknya yang sekarang ini masih menjalani usaha alkohol. Di sisi lain Pak Sabar bukan sosok orang yang pelit, beliau dengan senang hati menularkan keahliannya kepada semua orang yang ingin belajar membuat alkohol. Banyak akademisi dan pengusaha dari dalam dan luar negeri yang datang berguru kepadanya.

Saya pernah berguru kepada beliau. Sudah dua minggu saya diajarkan oleh sang guru untuk membuat alkohol. Tiap pagi hingga sore saya bergabung dengan para pengrajin alkohol Pak Sabar. Panas dan aroma badeg yang menyengat tiap harinya tidak mematahkan semangat kami sebagai pengrajin. Dengan bercanda rasa tidak enak menjadi hilang seketika. Memang gaya bercanda para pengrajin berbeda dengan gaya bercanda di bangku kuliah, tapi saya menikmati itu. Di samping alkohol, salah satu pekerja juga menunjukkan ciu (alkohol setengah jadi, minuman beralkohol) kepada saya, lalu dia meminumnya dengan bangga.

Pak Sabar ternyata memiliki instalasi alkohol yang lain di dalam rumahnya. Instalasinya dapat dikatakan modern. Berbeda dengan masyarakat Bekonang umumnya yang masih menggunakan alat seadanya. Pipa stainless stell terpasang layaknya laboratorium kimia. Instalasi ini merupakan pemberian pemerintah orde baru untuk membuat alkohol dan bioethanol. Namun beliau menyayangkan, pemerintah sekarang tidak memberikan perhatian lagi. Justru sekarang pemerintah malah melarang masyarakat berproduksi, dengan dalih takut alkohol disalahgunakan untuk minuman beralkohol.

Sebagai ketua paguyuban alkohol, Pak Sabar mengadakan rapat bersama pengusaha alkohol di Bekonang di setiap bulannya. Mereka sebagian besar masih saudara dekat. Rapat umumnya membahas tentang kendala-kendala yang dihadapi para pengusaha. Keuangan, hubungan dengan pemerintah, gangguan sosial, dan pemasaran adalah topik yang seringkali dibahas. Alkohol Bekonang umumnya terkendala masalah pemasaran, produknya disaingi oleh alkohol pabrikan. Mereka kalah sistem. Tak jarang mereka juga menjual ciu untuk mengurangi kerugian mereka.

Pak Sabar menyarankan kepada para pengrajin untuk memprioritaskan pembuatan alkohol daripada ciu. Walaupun tersendat di pemasaran, beliau tidak tinggal diam. Komunikasi dengan pemerintah terus beliau jaga. Beliau secara sukarela memperjuangkan nasib para pengrajin alkohol dengan meminta bantuan pemerintah berupa modal dan pemasaran alkohol. Ironinya pemerintah belum bertindak. Akibatnya para pengrajin alkohol seringkali menjual ciu untuk menutupi kerugian. Melihat kondisi tesebut, Pak Sabar hanya dapat bersabar dan tawakal.

Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Beliau sebagai manusia telah mampu menginternalisasikan nilai keikhlasan dan kebermanfaatan untuk orang lain. Sekarang ini jarang sekali ditemukan orang mau meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Niat kebaikan Pak Sabar sepatutnya ditiru oleh masyarakat yang mulai terkungkung oleh nilai-nilai pragmatisme. Beliau telah berhasil menyepikan dirinya dari riuhnya persaingan kekuasaan dan kekayaan. Jika dikatakan idealis, betapa berat beliau mempertahankan idealisme dari usia muda hingga usia senja menghampirinya. Semoga di lain masa akan muncul Pak Sabar muda yang mampu membuat hidup ini menjadi lebih baik. Amin.  

Catatan: Pak Sabar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Bapak Sabaryono. Sekarang beliau tinggal di Dusun Sentul, Desa Bekonang. Latarbelakang beliau persis seperti yang dituliskan di atas. Kesibukan beliau sekarang ini adalah melakukan sosialisasi pupuk cair (produk ciu) kepada para petani di berbagai kecamatan di Sukoharjo secara mandiri.

0 komentar

Ciu Bekonang Dalam Renungan


Sore itu saya bersama kawan pergi ke sebuah desa yang terletak di utara Kabupaten Sukoharjo. Desa itu adalah Desa Bekonang. Desa dengan intensitas lalu lintas sedang antara Kota Solo dan Kabupaten Karanganyar. Hamparan sawah luas, subur, dan hijau menjadikan desa ini terlihat asri dan damai. Penduduknya terlihat sangat ramah. Aktivitas sosial dan religi telah mampu memeluk hangat masyarakatnya.

Siapa sangka desa damai nan asri tersebut ternyata desa penghasil alkohol. Papan bertuliskan sentra penghasil alkohol menyambut saya ketika masuk. Tak hanya papan, aroma badek (limbah alkohol) yang khas juga menyambut kedatangan saya sore itu. Samping kanan dan kiri jalan, terlihat tumpukan kayu bakar dan drum plastik. Orang-orang terlihat sedang beres-beres di rumah produksi yang tidak jauh dari rumah mereka.

Selain alkohol, ada sesuatu yang lebih klasik yang perlu diketahui dari desa ini yaitu ciu. Ciu? Mungkin terdengar sederhana dan lucu. Hanya satu suku kata. Mudah diucapkan. Masyarakat Bekonang akrab dengan ciu, jenis minuman beralkohol tradisional yang menjadi bagian dari proses pembuatan alkohol. Minuman ini tidak hanya terkenal di Bekonang. Ketenarannya terdengar di seluruh wilayah Sukoharjo, Soloraya (Karesidenan Surakarta), bahkan sebagian ibu kota negara ini.

Sejarah menuliskan keberadaan ciu pertama kali ada pada tahun 1930-an, tepatnya pada masa penjajahan Belanda. Ciu bukan murni temuan masyarakat Bekonang, Kompeni Belanda  yang membawanya. Mereka ajarkan para penduduk untuk membuat ciu untuk minuman dan alkohol. Mengingat pada kala itu meningkatnya produksi tebu di Bekonang menjadikan tetes (sisa produksi gula) Pabrik Gula Sondokoro Karanganyar juga melimpah.

Tekanan hidup berupa kemiskinan kala itu menimpa masyarakat Bekonang. Masalah pengangguran telah menjadi momok. Masyarakat kemudian berpikir untuk mencoba membuat alkohol berbekal pengajaran yang diberikan oleh Kompeni Belanda. Namun usaha itu tidak membawa hasil yang lebih baik. Alkohol buatan masyarakat ternyata kalah dengan buatan pabrik-pabrik alkohol yang diproteksi oleh Kompeni Belanda. Apa boleh buat, akhirnya masyarakat berbondong-bondong membuat ciu. Akhirnya berbuah baik, ciu digemari masyarakat.

Masyarakat membuat ciu dengan peralatan sangat tradisional kala itu. Tungku dari tumpukan bata merah, pipa destilasi dari bambu, dan kuali dari hasil tanah lempung yang dibakar. Kuali diisi adonan dengan badeg, air, ragi, tetes dan didiamkan selama empat hari untuk fermentasi. Adonan dimasak lewat tungku untuk diambil uap airnya. Uap air dialirkan ke kuali pendinginan lewat pipa bambu dan keluarlah ciu.

Ciu diminati oleh penduduk sekitar, kompeni, bahkan para pejabat Keraton Surakarta.  Kehangatan dan aroma khas ciu yang harum telah mampu menjaga para konsumen untuk tetap setia meminumnya. Ciu telah membawa peningkatan ekonomi masyarakat Bekonang. Terlihat mereka mulai membangun rumah produksi yang semakin besar dan jumlah rumah produksi bertambah setiap waktunya. Produksi ciu terus dilakukang hingga anak keturunan mereka hingga saat ini.

Sekarang ini, banyak para akademisi seperti mahasiswa, dosen, dan pengusaha yang telah bertapa ilmu ciu di desa ini. Desa ini mampu menelurkan para praktisi ciu setiap tahunnya. Inovasi tentang ciu juga terus bermunculan. Produk-produk seperti pupuk cair, alkohol medis, bioethanol, saos rokok, dan jamu adalah salah satunya. Namun sayang pemerintah kurang merespon baik atas inovasi ini. Pemerintah terlihat belum mau untuk mensosialisasikan inovasi positif ini kepada masyarakat secara luas dan konsisten.

Masyarakat Sukoharjo dan sekitarnya sekarang masih terperangkap dalam stigma tradisional bahwa ciu adalah minuman beralkohol dan penyimpangan sosial. Untungnya masyarakat sadar bahwa ciu adalah satu-satunya mata pencaharian mayoritas masyarakat Bekonang. Jika pekerjaan mereka dilarang oleh masyarakat, maka mereka akan menjadi masalah ekonomi baru. Lagipula walau membuat penyimpangan sosial, stabilitas keamanan Sukoharjo masih dapat dikendalikan dengan baik.

Sebenarnya yang ditakutkan oleh para pengrajin ciu bukanlah dari masyarakat sendiri, tetapi organisasi masyarakat radikal. Mereka seringkali melakukan razia kepada pengrajin ciu. Tidak usah dirazia pun sebenarnya para pengrajin tahu bahwa pekerjaan mereka ini tidak sesuai dengan perintah agama. Tetapi yang membuat para pengrajin ciu tidak terima adalah organisasi tersebut tidak memberikan solusi untuk mereka. Seolah-olah mereka hanya datang merusak dan pergi. Apa bedanya dengan seorang preman yang memalak pedagang pasar?

Pemerintah kemudian datang mengintervensi masalah ciu. Masyarakat berharap pemerintah datang bak seorang bijaksana yang mampu memberikan solusi tengah atas masalah. Tetapi masyarakat harus kecewa karena pemerintah mengeluarkah Perda tentang pelarangan ciu. Dengan kata lain ciu harus dihapuskan, tetapi minuman beralkohol bermerk dibolehkan beredar. Akibatnya, para pengrajin terancam untuk bangkrut, korban jatuh miskin bertambah, organisasi masyarakat tepuk tangan, para kapital vodka dan kawan-kawan bersorak riang.

Sejarah ciu terus tergerus di tengah perlawanan kelompok masyarakat dan pemerintah. Para pelawan seharusnya membuka pikiran tentang ciu. Mereka harus melihat para inovator-inovator yang ditelurkan oleh masyarakat Bekonang. Telur-telur itu buka telur biasa, mereka kumpulan orang cerdas. Mereka tahu ciu ini mau dibawa ke mana. Pemerintah seharusnya mendukung mereka demi lestarinya sejarah ciu dan manfaatnya untuk kemaslahatan masyarakat.  

Aroma badeg sedikit demi sedikit hilang. Matahari semakin menjauhkan sinarnya dari Desa Bekonang. Saya yang sedang duduk berdiam di pematang sawah bersama kawan segera mengakhiri renungan. Sungguh indah matahari terbenam kala itu. Desa ini harus segera mengakhiri kehangatannya di hari sore. Para petani dengan sepedanya kembali ke desa. Begitu pula kami, kami juga pulang bersama mereka.

Alala Muliba    

0 komentar

Lets Build Food Security With Subak!



Subak in Bali
Picture source: jengker.com




Every morning Mr. Ketut always check the water in the upriver. Checking whether the watergate is still flowing well lived is his voluntary task. Sometimes the watergate needs to be cleared of leaf litter or plastic. He realized that if the channel is not checked and cleaned, it will disrupt waterways. Because of the courage and spirit of the voluntary, then he deserves to be the most active members of Subak in their village. Basically, only one conviction in the mind of Mr. Ketut about everything he’s done. The belief that everything he’s doing solely just for the advancement of agriculture in Bali.

Pak Ketut story is an example of the Subak in Bali picture. Literally, Subak composed of two Sanskrit words su meaning good and bak mean water channel. While by definition there are various about Subak. According Martiningsih, Subak is a local wisdom that a still exist in some areas in Bali in the case of water sharing between organizations in the traditional rice acreage (Matiningsih, 2012). Whereas in the case of a local law of Bali Province Perda No. 02/PD/DPRD/1972, Subak is a customary law community that has characteristics of socio-agrarian-relegius that historically established since ancient times and continue to grow as the organization's authority in the field of land and water arrangements etc. to the rice fields from a water source within a district.

In view of the historical record, there appears no record clarity when and how the first time appeared in the Community Subak Bali. A Dutch historian, R. Goris said that Subak first appeared before the 600M. Marked with the system Subak irrigation tunnel known at the time (Pasandaran & Taylor, 1988). There is also a mention Subak was there at Century 11 M which comes from the word kasuwakan inscriptions found in Klungkung A, B, and C in the year 1072, Pengotan inscription, inscriptions Buwahan in 1181 from King Jayapangus (Agung, 1999). From all these findings, it can be concluded that Subak is a cultural artifact findings. More precisely, it is a technological artifact that address challenges plaguing agricultural drought disaster in Bali. In the end the drought disaster can be tackled and food security can be maintained by the community.

Behind its success, it turns out there is a philosophy of life that become Subak’s backround system called Bali Tri Hita Karana (THK). THK consists of three principles of human relationship such as relationship man with God, man with nature, and man with man (Matiningsih, 2012). As described previously in Bali that Subak’s Perda characteristics include socio-agrarian-relegius up Subak is not only seen as mere water irigation system. A philosophy of life THK is believed as high philosophy of life in society in Subak Bali. Tri Hita Karana in Subak created by parhyangan , palemahan, and pawongan who epitomized by Hinduism (Windia, Pusposutardjo, Sutawan, Sudira, & Arif, 2001). Parhyangan are religious elements between man and God in Subak arrangements. Marked with the temple where Hindus worship in upstream Subak, Subak rice, and Subak downstream. Then palemahan which means Subak have a responsibility to the environment. Subak not allowed to mutilate built environment in any case. Last pawongan Subak is a social responsibility to the community. Created by an organization that is flexible in order to build a sense of responsibility to society. Responsibility of the organization's performance is proved to maintain the quality of Subak in agriculture in the community. Since then humanizing look Subak flexible membership not tied by a tribe, religion, race, and all other discrimination so long as they are in the same area so they allowed to be members of the Subak.

Five principles of farm (Panca Usaha Tani)
Panca Usaha Tani is basically an agricultural wisdom of Indonesia that aims to improve the quantity and quality of farms productivity. There are five principles that is held in the five farms such as the choice of seeds, appropriate fertilizers, integrated pest management, well-irrigation, and improvement of cropping patterns. At the beginning, the five farms was found to be positive in increasing agricultural output in Indonesia. And someting we must know that in 1983-1984, Indonesia was fruitfully managed to become self-sufficient in rice (Agung, 1999).   

But now five farms became increasingly faded. Decreasing of seed quality makes resulting in lower crop productivity. High price of fertilizer so difficult for farmers. Uncontrolled pest explosion caused by unbalanced ecosystem. Moreover poor water management and dry season rainfall is erratic. As well as cropping patterns tend to damage the soil is still frequently used by the Indonesian Society.

While the downturn, Subak emerged as one of the luminaries in the water ready to fix the problem of the Panca Usaha Tani. Subak irrigation is a simple technology that is packed with useful community management philosophy in facing Indonesian agricultural challenges ahead. Subak is felt able to cope with the uncertainty of the season in Indonesia so as to reduce the risk of crop failure. In the dry season when the water control system will manage water efficiently so that all the rice will get the water. Whereas during the rainy season and the water control system will manage the dam to store water so that rice does not have both running water in excess.

The success of the water management can not be separated from the philosophy of Tri Hita Karana (THK). Parhyangan which means religious in Subak signifies that every activity in Subak solely for God and the benefit of society itself. With this philosophical foundation, then all management activities will be voluntary but seriously. Building the temple is located in each subak signifies that every activity should begin with praying. This influence of suggestion on farmers that would be more excited to work on the rice fields, especially in terms of irrigation. Additionally Parhyangan for Balinese people is a form of God's presence on the water irrigation system in the presence of pretending that have been built.

Palemahan which means subak has organized related area of water management systems. On the basis of equality and fairness that all benefits and risks should be borne by all the members. All subak members will receive the same flat water section.Palemahan in Subak also means friendly to nature. Therefore all the destructive nature of agricultural activities is strictly prohibited. Suppose that repel pests using pesticides within is strictly prohibited because it will damage the soil structure and will reduce yields obtained.

Pawongan means subak organization is flexible organization. Flexible visible when the coordination among members in a family. Flexible coordination was also seen when every office holders or community leaders met to discuss the issue subak. Indeed, this organization looks relaxed, but still carrying out his duties in regulating each subak. In addition, the subak is also an open organization that allowed anyone to join regardless of position, title, race, and ethnic.

Social and ecological technology
Subak is a technology that has a responsibility to the community. The proof, Subak Bali to foster community harmony because organizations can increase the intensity of social interaction social cohesion. Additionally, Subak not an ordinary organization engaged in irrigated rice fields. While using flexible work and family, the system keeps turning towards settled assessment pattern of Subak organization. Pekaseh or Subak leaders must have good vision and mission of the responsibilities related to community and the environment. Now the responsibility of pekaseh on society is planning purposes and target activities based on the rule of law, explaining the purpose and target activities to the members, organizing action agreement fragmentation problems, and dividing responsibility on all members, empowering members to be more active in accordance with purpose, rights, and obligations has, coordinating the implementation of tasks set so that the goals and objectives that have been agreed activities can be achieved (Windia, Pusposutardjo, Sutawan, Sudira, & Arif, 2001).

Remembering one of the principles of Tri Hita Karana is palemahan, subak should be sounded enviromentally. Keep in mind that the subak irrigation system where water is always flowing. Water continues to flow is very useful to maintain soil fertility and the surrounding rice fields. Subak also has a unique way to repel pests who never uses pesticides. Pesticides in Balinese society is a taboo because of chemical elements in pesticides will damage soil structure and reduce the harvest. Society generally use a scarecrow in repel pests. They believe that the scarecrow is a manifestation of Goddess Sri keeping their fields (Matiningsih, 2012). In addition, people also make a musical instrument that can prevent pest entry into the field. There are many other efforts in preserving Balinese nature such as the use of organic fertilizers and much more.  

Participation to build food security

Keep in mind that the emphasis Subak as a means of developing food security lies in empowering the community. Subak has given more space to the community to participate in agricultural activities. Moreover, people become motivated to participate in Subak. There are many new group supporting Subak, one of them is a group called sekeha-sekeha .This group was divided into 5 sections namely sekeha numbeg (plough groups), sekeha mejukut (weeding group), sekeha nandur (planting group), sekeha manyi (crop group), and sekeha nebuk (separating rice seed and its plant) (Matiningsih, 2012) . Members of this group are working together to treat each other to harvest rice. Surely all those jobs arranged by Subak to get the maximum harvest.
  
Not only that, subak was to make people become more innovative amid rules prohibiting destruction of the environment. Like the farmer who typically use chemical fertilizers, Bali people dont give up and keep inovating. Fertilizers derived from organic fertilizer of cow urine is the mainstay of farmers with specific process has also created a quality fertilizer commensurate with chemical fertilizers. In fact, the harvest obtained from organic fertilizer was not inferior to the harvest from inorganic fertilizers. Its importand to know that Balinese rice is the best rice yield and free from chemicals. Rice is also certified Organic Certification Agency (LeSOS) No.. LSPO-005-IDN-0 (Matiningsih, 2012). LeSOS This is a certification body under the National Accreditation Committee (KAN) Organic Indonesia. The main criteria of this certification is a crop that is free of chemicals that harm the body.

Of exposure can be concluded that the Balinese people have a distinctive way to build community, especially in terms of food security. Local wisdom within subak is a typical way of Balinese owned in addressing the issue. Subak is a wisdom that is able to meet the challenges of food problems in Bali. Proved by subak, Bali is able to meet their food needs with independently. Bali more shall not emulate the efforts made by the outside community in addressing its food problems. The values ​​that can be learned from the people of Bali is Balinese problem can only be solved by  Balinese themself. Similarly in Indonesia, all the problems in Indonesia can only be resolved by way of Indonesia. Not the other way!

Referensi
Agung, D. A. (1999). Sistem Subak, Pancausaha Tani dan Perkembangan Pertanian di Kabupaten Bangli. Depok: Universitas Indonesia.
Arif, S. S. (1992). Applying Philosophpy of Trihita Karana in Design and Management of Subak Irrigation System. A Study of Subak as Indigenous Cultural, Social, and Technological System to Establish a Culturraly based Integrated Water Resources Management Vol.III .
Matiningsih, N. G. (2012). Pelestarian Subak Dalam Upaya Pemberdayaan Kearifan Lokal Menuju Ketahanan Pangan dan Hayati. Jurnal Bumi Lestari , 303-312.
Pasandaran, E., & Taylor, D. C. (1988). Irigasi Kelembagaan dan Ekonomi Jilid 2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia.
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/1972
Windia, W., Pusposutardjo, S., Sutawan, N., Sudira, P., & Arif, S. S. (2001). Sistem Irigasi Subak dengan Landasan Tri Hita Karana (THK) Sebagai Teknologi Sepadan Dalam Pertanian Beririgasi. Yogyakarta: UGM.