Budaya Ciu dan Perjuangan Kelas
“Ciu bukan hanya sekedar minuman, lebih dari itu, yaitu sebuah
perjuangan.”
Bagi
masyarakat Jawa khususnya Soloraya (Kota Solo dan sekitarnya), istilah ciu tidaklah
asing. Ciu merupakan salah satu jenis minuman beralkohol tradisional yang
terbuat dari tetes tebu yang
difermentasikan kemudian dimurnikan. Dengan kadar golongan alkohol menengah sekitar 35%, ciu telah menjadi minuman
sosialita bagi masyarakat kelas bawah. Mereka cenderung memilih ciu daripada
minuman beralkohol bermerk karena harganya yang murah yaitu sekitar Rp. 6000,00
per liternya. Ciu banyak dijumpai dibeberapa tempat di Soloraya khususnya di
Bekonang secara tersembunyi maupun terbuka. Rasa ciu juga tidak kalah keras
dengan minuman sekaliber vodka, bahkan menurut masyarakat rasa ciu lebih
mantap.
Dalam
tulisan ini, saya memandang bahwa terdapat sisi berbeda dari ciu yang tidak
dimiliki oleh minuman beralkohol lain. Point
of view pertama saya adalah ciu merupakan produk budaya masyarakat. Produk
budaya pada dasarnya merupakan hasil dari proses berpikir manusia sebagai
anggota masyarakat. Hasil tersebut terbagi menjadi tiga yaitu gagasan,
aktivitas, dan artefak. Ciu di sini termasuk artefak karena bentuknya yang
konkrit dapat dirasakan oleh lima panca indera manusia.
Untuk
menjadi sebuah produk budaya, ciu telah mengalami proses pembentukan yang cukup
panjang. Dimulai dari asimilasi dari budaya penjajah Belanda dan pribumi, ciu
telah diadaptasi dengan kebudayaan asli pribumi. Ciu pada awalnya datang dari
penjajah Belanda yang kemudian diturunkan kepada pribumi. Para penjajah memiliki
kebiasaan minum minuman beralkohol di saat berperang ternyata menarik minat
pribumi untuk mempelajarinya. Kehadiran ciu masa itu ternyata mampu memenuhi
aspirasi sosio-kultural masyarakat pribumi. Setelah mahir membuat ciu,
masyarakat pribumi kemudian mengadopsi ciu dalam produk budaya lain seperti
tari tayub, gotong royong dalam mengadakan pesta pernikahan (sinoman), maupun kegiatan berkumpul
antar warga (jagongan).
Point of view kedua saya adalah ciu adalah simbol perjuangan
kelas bawah terhadap tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kelas atas dalam masyarakat
kapitalis. Dalam memandang konteks sekarang, ciu telah datang untuk bersaing
dengan produk-produk minuman beralkohol bermerk yang hanya dapat dinikmati oleh
kelas atas. Saya melihat bahwa ada perubahan aspirasi masyarakat dari
sosio-kultural menjadi sosio-ekonomi dalam masyarakat. masyarakat kelas bawah
sekarang ini mulai berlomba membuat minuman beralkohol tandingan. Aksi saling
tindas menindas dalam sebuah konflik kelas sudah tidak terhindarkan.
Budaya ciu
Ciu memiliki
berhubungan erat dengan budaya Jawa. Dahulu masyarakat Soloraya kerap mengadakan
acara tayuban ketika panen padi tiba.
Tayuban adalah salah satu jenis
tarian untuk ungkapan syukur kepada Dewi Sri atas keberhasilan panen. Para
penari laki-laki tayub meminum ciu sebelum menari dengan penari tayub perempuan
(ledek). Ciu dianggap mempunyai
kekuatan sakral dalam tarian tersebut. Manfaat tayuban secara tidak langsung merupakan sebuah sarana untuk
membangun rasa kebersamaan dalam bermasyarakat. Selain tayuban dalam acara
pesta perkawinan juga terdapat sinoman,
biasanya pemilik acara juga menyuguhkan ciu untuk para pemuda yang telah
membantu proses pesta pernikahan. Ciu menjadi simbol terima kasih atas bantuan
yang diberikan. Selain itu, ciu juga berguna untuk mengobati rasa lelah saat
bergotong royong membantu sang pemilik acara.
Dalam
kehidupan sehari-hari, ciu telah menjadi minuman di kala berkumpul antar warga.
Pola perilaku para peminum dapat dikatakan berbeda dengan biasanya. Dari
kebanyakan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah, umumnya menjelaskan
bahwa minuman beralkohol adalah penyebab terjadinya kejahatan. Hal tersebut
sangat berbeda jika di daerah Soloraya. Pola perilaku meminum ciu hanya
digolongkan sebagai penyimpangan sosial karena tidak merugikan orang lain. Para
peminum ketika mabuk umumnya masih memiliki kontrol diri. Mereka berbicara
tidak jelas (nglantur), curhat, dan
berteriak untuk melepaskan rasa penat yang telah terpendam. Jika mereka sudah
sadar, mereka akan merasa lebih tenang dan rileks.
Dari sosio-kultural ke sosio-ekonomi
Saya
melihat ciu telah terjadi peralihan aspirasi dari segi waktu. Pada awal
kedatangan, ciu merupakan sebuah alat pemenuhan aspirasi sosio-kultural
masyarakat. Dengan bukti bahwa ciu mampu berkolaborasi dengan produk budaya
asli pribumi, walaupun hanya sebagai pelengkap. Cara mudahnya jika diungkapkan
seperti ini “jika tanpa ciu, tayuban jadi kurang bergairah” atau lebih mudah
lagi “sayur terasa hambar jika tanpa garam”. Produk budaya seperti tayuban dan sinoman adalah produk-produk yang
diilhami oleh masyarakat kelas bawah. Ciu telah mampu menghangatkan masyarakat
sebagai penghapus rasa jenuh dan bosan masyarakat terdahulu. Dengan kata lain,
kepuasan batin masyarakat telah terpenuhi dengan hadirnya ciu di kala itu.
Sekarang
ini kapitalisme telah merubah tatanan masyarakat yang terbagi menjadi kelas
atas dan bawah. Masyarakat kelas atas semakin menunjukkan taringnya sebagai
pemegang kendali masyarakat. Akibatnya, produk budaya masyarakat kelas bawah
yang merupakan masyarakat terdahulu mulai terkikis seiring dengan adanya
globalisasi dan teknologi. Masyarakat mulai berpikir bahwa aspirasi
sosio-kultural sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Desakan-desakan kebutuhan ekonomi yang
diciptakan kapitalis ternyata sulit dipenuhi oleh masyarakat kelas bawah. Maka
dari itu, aspirasi ciu tidak cukup hanya sebagai budaya semata, namun beralih
menjadi sosio-ekonomi.
Ciu
akhirnya diproduksi secara besar-besaran untuk menandingi produk minuman
beralkohol pabrikan impor dan lokal. Konflik ekonomi antar kelas sangat terasa
dimana aksi saling tindas dan serang terjadi. Pihak kelas atas berusaha membuat
peraturan agar ciu dapat dikatakan ilegal dan berbahaya. Hal tersebut juga
didukung oleh media massa supaya ciu dikontruksi sebagai hal yang buruk. Ditambah
lagi, para penegak hukum kadang juga tidak berdaya menghadapi tawaran sebagai pelayan
kapitalis. Tetapi masyarakat kelas bawah ternyata juga tidak ingin kalah.
Dengan operasi gerakan bawah tanahnya, ciu tetap saja sampai di tangan konsumen
tanpa diketahui oleh alat para kapitalis. Begitu seterusnya dan berulang-ulang
karena pada dasarnya motif ekonomi tidak akan pernah berhenti diperebutkan.
Pelampiasan masyarakat kelas bawah
Tidak
semua kelas bawah akan terus mampu berkonflik dengan kelas atas. Sebagian dari
mereka akan menyerah ketika sumber daya mereka sudah tidak mencukupi.
Tekanan-tekanan kelas atas akan membuat
mereka distress. Kadang mereka tidak kuat menahan tekanan batin mereka. Masalah
ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, dan hutang umumnya dialami oleh kelas
bawah. Dalam kondisi ini, ciu secara sosial telah mampu meredam rasa sakit
masyarakat kelas bawah atas tekanan kapitalis.
Masyarakat
kelas bawah yang didominasi oleh para buruh. Mereka bekerja setiap hari dari
pagi hingga malam. Terlepas dari konteks agama, ciu telah mampu mengurangi rasa
sakit mereka. Harganya yang terjangkau membuat sebagian besar buruh di Soloraya
mengaku selepas bekerja mereka sering meminum ciu. Dengan catatan, ciu tersebut
tidak dioplos dan diminum dengan aturan tertentu. Hasilnya, badan dan pikiran
mereka terasa segar kembali. Segala permasalahan yang dihadapi seolah-olah
hilang sejenak sehingga mereka dapat fokus bekerja. Para buruh juga berpendapat
jika mereka tidak meminum ciu, maka mereka akan melapiaskan distress dengan
melakukan hal yang lebih buruk seperti kekerasan dalam keluarga, pencurian, dan
segala bentuk kejahatan lain.
Budaya melawan kapitalisme
Kapitalisme yang dijanjikan
dapat meningkatkan kualitas masyarakat ternyata telah ingkar. Semangat
kapitalisme yang dikobarkan ternyata hanya menyengsarakan masyarakat.
Kapitalisme adalah sebuah paham yang lunak tetapi diam-diam kejam membunuh.
Pertimbangan untung rugi hanya akan membawa kerusakan dan kerakusan karena
bukan berasal dari jati diri masyarakat. Maka dari itu, perlu adanya perlawanan
terhadap kapitalisme dengan memanfaatkan kearifan lokal budaya. Ciu sebagai
kearifan lokal telah mampu membangkitkan semangat kebersamaan dan persaudaraan
masyarakat kelas bawah.
Ciu adalah simbol sekaligus
alat perlawanan terhadap ketidakadilan yang diciptakan kapitalisme. Selain itu,
ciu merupakan salah satu potensi kekuatan kelas bawah, maka dari itu inovasi
harus dilakukan secara kontinu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan diversivikasi
untuk menandingi produk-produk kapitalisme. Saat ini sudah banyak para
akademisi yang telah belajar tentang ciu. Produk baru dari ciu telah berhasil
dikembangkan seperti etanol, bioetanol, pupuk cair, jamu, dan saus rokok.
Dengan ini maka ciu dapat memperluas pasaran dan mampu menyaingi berbagai
produk kapitalis. Jika berhasil, maka ekonomi kerakyatan akan tercipta dan
seluruh masyarakat dapat hidup sejahtera.
4 komentar:
Wow, ulasan ciu dari sudut budaya... Nice post!
Keep blogging!
terima kasih mas Arie Kurniawan untuk supportnya :)
sering2 mampir ya mas, akan ada ulasan-ulasan lain tentang ciu nantinya hehe
Ok, sip sip.
Btw, background pendidikannya Kriminologi ya? Ya gak jauh beda sih sebenarnya dengan saya yg juga pernah sedikit belajar Sosiologi. Pokoknya tambah terus den, tulisan ttg fenomena sosialnya.
Iya Mas, saya kriminologi. Baik Mas, terima kasih ya :). Kalau Mas punya tulisan tentang topik terkait kriminologi, bisa kasih tahu saya mas. Untuk referensi hehe.
Posting Komentar