Media dan Kekerasan
Sumber gambar: http://www.republika.co.id
Seringkali kita mendengar dan
melihat sebuah kekerasan di dalam masyarakat entah itu berbentuk visual,
verbal, maupun non verbal. Namun jika dipikir lebih dalam apakah kekerasan itu?
Kekerasan secara sosiologis merupakan konflik yang melatarbelakangi interaksi
yang terdiri dari pelaku dan korban.
Kekerasan tentunya tidak luput
dari pandangan media. Media memandang bahwa kekerasan adalah sebuah bahan
pemberitaan yang sepatutnya diberikan kepada masyarakat dan masyarakat harus
tahu itu. Media dalam memberitakan kekerasan dapat kita lihat seperti dalam
hiburan, berita, permainan, film, iklan, bahkan olahraga. Sebagian masyarakat
juga menilai bahwa media dalam memberitakan kekerasan merupakan sebuah
eksploitasi dari penderitaan manusia.
Tentunya kita sebagai pemirsa
ingin tahu mengapa media begitu gencarnya memberitakan kekerasan. Kekerasan
dalam pemberitaan media tidak muncul begitu saja, terdapat beberapa faktor
mengapa media cenderung memberitakan kekerasan seperti menimbulkan emosi kepada
pemirsa, mungkin terdapat persaingan antar media, profit oriented, kebijakan dari pemilik modal, dan terakhir yang
paling berpengaruh adalah news value.
Jika ditarik lebih gamblangnya lagi tentang faktor-faktor lain mengapa
media cenderung memberitakan kekerasan maka faktor-faktor tersebut adalah:
1. Adanya
peluang media untuk mendramatisir kekerasan sehingga lebih menarik pemirsa.
2. Paling
mudah ditemui dalam masyarakat kota besar.
3. Terminologi
jahat merupakan sesuatu yang laku dijual dalam dunia media.
4. Kasus
kekerasan biasanya tidak memiliki analisis lanjut, yang penting diberitakan
begitu saja asal pemirsa tertarik.
5. Media
sebagai sarana bagi masyarakat untuk menilai sebuah tindakan patut atau tidak
patut.
Bagaimana dampak
pemberitaan kekerasan dalam media? Berikut merupakan dampaknya
1. Copycats, yaitu peniruan kekerasan oleh pemirsa
sebagai hasil apa yang dia lihat dalam pemberitaan media.
2. De sensitizatium effects, yaitu
masyarakat akan merasa terbiasa dengan adanya kekerasan akibat media terlalu
sering memberitakan kekerasan.
3. Moral panic, yaitu perasaan khawatir
pemirsa bila terjadi kekerasan pada dirinya setelah melihat adegan kekerasan.
4. Fear of crime, yaitu perasaan takut
pemirsa jika terjadi kejahatan kepada dirinya.
Sebagai media
tentunya media harus memiliki standar tertentu agar pemberitaan kekerasan tidak
berdampat negatif kepada masyarakat. Adapun standar tersebut seperti
penyensoran terhadap gambar atau video yang dinilai vulgar dan tidak layak
dipertontonkan. Mengurangi kata-kata atau pembicaraan yang menggambarkan
sadisme terhadap sebuah kasus kekerasan dan lain-lain. Tentunya dalam hal ini
diperlukan sebuah lembaga yang mengawasi secara ketat tentang pemberitaan kekerasan
oleh media seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai contohnya.
Selain media harus membatasi pemberitaan kekerasan agar tidak terkesan
vulgar maka dari konsumen atau pemirsa harus ikut berbenah. Dalam ilmu
komunikasi menyebutkan bahwa terdapat 3 macam pemirsa dalam menyikapi sebuah
pemberitaan media yaitu:
1.
Oppositional reader, yaitu pemirsa yang selalu menolak segala pemberitaan media
terutama nilai-nilai yang ditransmisikan oleh media.
2. Dominan
reader, yaitu pemirsa yang tidak kritis dan cenderung mengikuti apa yang
diberitakan oleh media. Tipe ini sangat cocok bagi masyarkat Indonesia yang
begitu mudah hanyut dalam pemberitaan media.
3. Negotiate reader, yaitu pemirsa yang kritis dan cenderung
selektif dalam melihat pemberitaan media. Pemirsa ini biasanya melakukan
klarifikasi sendiri dan menguji kebenaran yang diberitakan media. Ini adalah
tipe pemirsa yang ideal dan patut dicontoh untuk masyarakat Indonesia.
Pada intinya media dan kekerasan merupakan sebuah timbangan dimana
timbangan tersebut harus terdapat sebuah titik keseimbangan / equlibrium antara
media dan pemirsa. Media sebagai pemberita harus bertanggung jawab dan memiliki
pedoman agar pemberitaan tidak terkesan vulgar dan berdampak buruk kepada
masyakat. Kepada pemirsa juga diharapkan agar lebih kritis dalam menanggapi pemberitaan
media agar dapat menyikapinya secara bijak.
*Tulisan ini merupakan resume persentasi kelompok 1 perkuliahan newsmaking criminology beserta tambahan dari dosen penulis.
0 komentar:
Posting Komentar