Dampak Pemberitaan Media terhadap Kejahatan yang Melibatkan Anak Sebagai Korban
sumber gambar: http://situs-berita-terbaru.blogspot.com/2012_10_07_archive.html, diakses Minggu, 18 Januari 2012 pukul 00.22 WIB
Posisi anak dalam sebuah kejatahan
Terdapat dua posisi anak dalam
sebuah kejahatan yaitu anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku. Jika melihat
dari sisi korban tentu bahwa anak merupakan salah satu kelompok yang rentan
mengalami kejahatan disamping perempuan. Adapun kejahatan yang seringkali menimpa
anak-anak adalah pekerja anak, people smugling, penganiayaan, asusila dan
segala bentuk child abuse yang dialami
anak . Namun terdapat suatu pengecualian ketika anak terlibat dalam kasus
kejahatan yang sangat sensitif seperti kejahatan asusila (pemerkosaan, sodomi, dan
pelacuran paksa). Dalam kasus ini tentunya diperlukan sebuah perhatian khusus
dengan mengkaji masalah-masalah yang dihadapi sang anak. Jika dilihat dari sisi
pelaku tentunya belum sepantasnya jika tindakan anak tersebut dikatakan sebagai
kejahatan. Karena anak masih tergolong dibawah umur 18 tahun maka segala tindakan
kejahatan yang dilakukan merupakan sebuah kenakalan akibat salahnya sosialisasi
dalam dirinya.[1]
Namun sayangnya kajian tentang anak sebagai pelaku kejahatan ini kurang
mendapat perhatian dari kriminolog karena tidak mengalami masalah yang serius
seperti yang dialami anak sebagai korban.
Seperti paparan di atas, kajian
tentang korban anak dalam sebuah kejahatan telah mendapat perhatian lebih oleh
para kriminolog terutama menyangkut kasus-kasus yang sensitif. Dalam kasus yang
sensitif seperti kasus pemerkosaan, sodomi, dan kasus asusila lain merupakan
kasus yang tidak biasa. Kerugian yang dialami anak pun sangat kompleks yang
dapat diibaratkan sebagai “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Kerugian yang
dialami tidak hanya kerugian fisik, namun juga psikis dan ekonomi. Fisik ditunjukkan
dengan adanya kerusakan salah satu anggota tubuh akibat kejahatan yang dialami.
Trauma adalah kerugian psikis yang paling berat dirasakan oleh anak karena
berdampak jangka panjang yang dirasakan sebagai pengalaman hidup menyakitkan
yang akan selalu teringat . Selain itu kerugian ekonomi dimana setiap anak
memiliki hak untuk memenuhi kebutuhannya seperti pendidikan, pangan, sandang
dan lain-lain. Namun semua itu hilang karena label yang diterima anak bahwa
dalam kenyataan korban asusila anak cenderung sulit untuk berinteraksi dengan
masyarakat apalagi untuk memenuhi kebutuhannya.
Bagaimana dengan
dampak pemberitaan media dengan kejahatan yang dialami anak?
Pemberitaan media akan kejahatan sangatlah
berpengaruh kepada anak yang menjadi korban. Adapun pengaruh tersebut juga akan
memunculkan dua dampak yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif
tentunya diharapkan dengan adanya pemberitaan media, masyarakat akan muncul
rasa empati dalam dirinya untuk tergerak membantu korban. Selain itu jika
dilihat dari segi masyarakat juga akan menambah sikap pencegahan kejahatan
supaya kejahatan serupa tidak terjadi lagi. Namun yang menjadi konsen utama
disini adalah dampak negatif dari pemberitaan kejahatam terhadap korban anak
sendiri. Tanpa disadari, kadang media terkadang terlalu berlebihan dalam
memberitakan korban anak tersebut sehingga masyarakat tahu bahwa anak tersebut
telah menjadi korban asusila. Pemberitahuan tersebut secara jelas menyebutkan nama,
perlakuan yang diterima, asal sekolah, keluarga, dan lain-lain. Jika memandang
dari dampak negatif, pemberitaan ini akan memperkuat label masyarakat terhadap
anakt tersebut bahwa anak tersebut sudah “tidak baik” lagi. Label masyarakat
seperti sudah tidak perawan lagi, anak nakal, anak liar dan sebagainya pastia
akan menempel pada anak tersebut, padahal secara realita anak tersebut adalah
korban yang tidak mengetahui apa-apa. Akhirnya anak terviktimisasi karena segala
kesalahan yang dilakukan pelaku dewasa pada akhirnya ditanggung oleh korban
anak.
Bagaimana cara meminimalisir dampak negatif tersebut?
Sebenarnya upaya-upaya untuk
meminimalisir dampat negatif tersebut sudah dilaksanakan dengan membuat sebuah
kode etik jurnalisitik yang berisi panduan-panduan dalam membuat suatu
pemberitaan termasuk pemberitaan kasus kejatahan yang dialami anak. Panduan tersebut
berisi batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh setiap jurnalis dalam membuat
berita. Adapun batasan tersebut seperti merahasiakan identitas korban,
mewawancarai dengan cara-cara yang disukai anak, tidak boleh mewawancarai ketika
korban sedang trauma, harus mendapatkan ijin dari orang tua dan masih terdapat
beberapa batasan agar dapat membuat berita terkait kejahatan anak. Di Indonesia
sebenarnya sudah membut kode etik jurnalistik yang dibuat oleh beberapa ikatan
jurnalistik. Salah satunya adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai
salah satu organisasi profesi jurnalis, telah merumuskan Kode Etik sendiri. AJI
bersama sejumlah organisasi jurnalis lain secara bersama-sama juga telah
menyusun Kode Etik Jurnalis Indonesia, yang diharapkan bisa diberlakukan untuk
seluruh jurnalis Indonesia (Arismunandar, 2011).
Adapun tujuan utama adanya kode etik jurnalistik ini pada dasarnya adalah
selain untuk meminimalisir dampak buruk
atas pemberitaan, juga diharapkan media menjadi lebih sensitif dan bertanggung
jawab (Cote & Simpson, 2000).
Sumber:
Arismunandar, S. (2011).
Pemberitaan Media tentang Korban Tindak Kejahatan dalam Perspektif Etika
Jurnalistik. Viktimologi: Bunga Rampai Kajian tentang Korban Kejahatan ,
35-55.
Cote, W. E., & Simpson, R.
(2000). Covering Violence: A Guide to Ethical Reporting about Victims and
MTrauma. New York: Columbia University Press.
UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 tentang Perlindungan
anak.P
0 komentar:
Posting Komentar