Kekerasan: Antara Demo Mahasiswa dan Tindakan Polisi
Kekerasan merupakan
hal yang tak luput dari pandangan masyarakat. Media massa seringkali
memberitakan beberapa kejadian kekerasan yang tak lain merupakan hasil dari
konflik sosial yang terjadi. Banyak yang mengira bahwa kekerasan merupakan
jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah. Apakah itu benar? Apakah dengan
kekerasan semua masalah dapat teratasi dengan baik?
Kekerasan diambil
dari bahasa latin yaitu violentia
yang berarti keganasan, kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya, dan
perkosaan. Namun secara sosiologis, penulis mengutip definisi kekerasan dari
Galtung yaitu suatu kondisi yang terjadi
ketika manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan
mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya (Windhu, 1992). Sederhananya,
Galtung ingin menjelaskan bahwa kekerasan terjadi dikala seseorang mendapatkan
pengaruh dari luar dirinya (masalah) dan dia dituntut untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Namun dia tidak memiliki waktu, tempat, dan kesempatan-kesempatan
lain untuk memikirkan secara jernih (realisasi jasmani dan
mental) bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan baik. Karena kondisi yang
mendesak (realisasi potensial) tidak terbendung dan realisasi jasmani dan
mental tidak tidak mampu menangani maka tindakan kekerasan pun terjadi.
Apakah budaya kekerasan itu ada?
Sebuah pertanyaan
muncul apakah budaya kekerasan itu benar-benar ada? Apakah budaya dapat
bermakna negatif seperti budaya kekerasan? Menurut Koentjaraningrat, budaya adalah
hasil dari cipta, rasa dan karsa yang berwujud ide, perlaku, dan artefak
(Koentjaraningrat, . Hasil tersebut dapat berupa patung, peraturan, sastra, dan
lain-lain. Dari semua itu budaya selalu merujuk ke hal yang positif dan
bermanfaat bagi masyarakat sehingga untuk sementara kita menyimpulkan bahwa
budaya kekerasan itu tidak ada. Namun bagaimana jika merujuk pada definisi
Galtung tentang budaya kekerasan dibawah ini?
“By 'cultural violence' we mean those aspects
of culture, the symbolic sphere of our exist-ence - exemplified by religion and
ideology, language and art, empirical science and formal science (logic,
mathematics) - that can be used to justify or legitimize direct or structural
violence” (Galtung, 1990)
Kembali pada definisi Galtung bahwa budaya
kekerasan adalah segala aspek dari budaya, seperti simbol keberadaan agama,
ideologi, bahasa, seni, ilmu pengetahuan dan hukum yang dapat digunakan untuk
landasan pembenar melakukan kekerasan (Galtung, 1990). Ternyata dari definisi
tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tidak hanya terjadi karena agama dan
ideologi saja, banyak hal lain yang mempengaruhi hingga ilmu pengetahuan
ternyata juga dapat digunakan sebagai landasan pembenar untuk melakukan
kekerasan. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa budaya kekerasan itu ada
dalam setiap masyarakat.
Melihat
dari dua sisi tersebut sebenarnya budaya kekerasan sebenarnya masih dilematis
antara posisi ada dan tidak ada dalam
suatu masyarakat.
Demo mahasiswa selalu terkait dengan kekerasan?
Secara normatif,
demo atau aksi mahasiswa merupakan
sebuah wadah untuk mengutarakan aspirasinya aspirasi masyarakat kepada
pemerintah dalam rangka pengkontrolan kinerja pemerintah. Kinerja pemerintah
tersebut dapat berupa implementasi kebijakan, program kerja, dan lain-lain dalam
rangka pelayanan masyarakat. Pemerintah yang diberi kewenangan oleh masyarakat
untuk “mengurusi” masyarakat sendiri harus bekerja sesuai dengan keinginan
masyarakat. Perlu diketahui bahwa demo mahasiswa bukanlah sembarang demo yang
dilancarkan begitu saja. Untuk melakukan sebuah demo, mahasiswa perlu melakukan
beberapa tahap yang harus dilalui seperti
1. mencari
permasalahan yang terjadi
Pada tahap
awal ini biasanya mahasiswa menyadari bahwa terdapat sebuah permasalahan yang
terjadi di masyarakatnya. Misalnya kasus korupsi yang dilakukan pejabat daerah,
kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat, dan lain-lain.
2.
pengumpulan informasi untuk mendukung permasalahan
Mahasiswa
tidak langsung menerima permasalahan begitu saja. Mahasiswa juga harus
mengumpulkan bukti informasi bahwa permasalah tersebut benar-benar ada dalam
masyarakat. Bukti tersebut tentunya tidak dapat mengacu pada satu sumber, perlu
sumber-sumber lain untuk mengetahui sisi-sisi lain dari suatu masalah. Dengan pengumpulan
ini maka mahasiswa harus membuat kesimpulan masalah sementara bahwa masalah ini
merupakan masalah penting dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang ada. Namun kesimpulan
tersebut perlu didiskusikan dahulu agar mendapatkan kesimpulan yang final.
3. diskusi
masalah
Diskusi masalah
adalah tahap penting dari pengkajian suatu masalah. Biasanya diskusi ini
digelar oleh mahasiswa untuk kalangan internal mahasiswa atau pihak-pihak yang
konsen dalam masalah tersebut. Diskusi tersebut biasanya berupa seminar yang
didatangi oleh pakar, ahli, dan tokoh masyarakat yang dimoderatori oleh
mahasiswa dan disaksikan oleh para mahasiswa. Dalam tahap inilah “arah dari
perjuangan” mahasiswa untuk demo sudah mencapai kesimpulan yang matang.
4.
sosialisasi ke masyarakat khususnya rekan mahasiswa
Setelah “arah
perjuangan” sudah ditentukan, saatnya sosialisasi kepada rekan mahasiswa. Tujuan
dari sosialisasi ini biasanya lebih ke arah propaganda agar seluruh mahasiswa
menjadi satu suara bahwa permasalahan ini adalah masalah bersama dan semua
mahasiswa harus ikut “berjuang” mengkontrol pemerintah. Sosialisasi ini
biasanya berupa selebaran pamflet yang dibagikan kepada setiap mahasiswa,
tulisan propaganda melalui jejaring sosial (Facebook, twitter, tumblr, blog dan
lain-lain)
5. demo
dilaksanakan
Inilah puncak
dari semua tahapan berdemo. Dari tahap ini tentunya sebuah demo tida dapat
dilakukan secara sembarangan dan perlu tahap-tahap tertentu supaya mahasiswa
tidak dikatakan “asbun” atau kepanjangannya adalah asal bunyi.
Namun bagaimana realitanya?
Tentunya tidak gampang
mengimplementasikan tahap-tahap tersebut, terdapat beberapa oknum dalam
mahasiswa yang hanya ikut-ikutan. Mereka tidak mengetahui secara matang
permasalahan yang dihadapi. Dengan modal badan kuat dan pengetahuan yang
sedikit, mereka langsung ikut berdemo. Mahasiswa-mahasiswa seperti inilah yang
berbahaya dan memicu adanya kekerasan saat berdemo. Mahasiswa tersebut sangat
rentan jika terjadi provokasi dari pihak luar, apabila mendapatkan provokasi
mereka langsung marah tanpa memikirkan terlebih dahulu apa manfaat dari
kemarahan tersebut. Tentunya hal ini berbeda dengan mahasiswa yang mengetahui
permasalahan yang ada, mereka akan memikirkan terlebih dahulu dengan asas
manfaat yang dimilikinya. Mahasiswa “asbun” sudah semestinya kita hapuskan
karena hanya akan mengurangi hakikat tujuan berdemo dan hanya merusak citra
mahasiswa.
Netralitas Polisi: Mengamankan pemerintah atau mengamankan masyarakat?
Memang benar
polisi memiliki tugas untuk mengamankan keadaan. Namun pertanyaannya adalah
polisi mengamankan pemerintah atau masyarakat? Hal ini harus dibedakan secara
khusus. Jika dilihat dari sisi normatif seharusnya dalam konteks demo ini
polisi harus netral dan menjadi penengah antara masyarakat dan pemerintah.
Sayangnya kebanyakan polisi di Indonesia adalah polisi negara sehingga
ditugaskan untuk kepentingan negara khususnya pemerintah. Jika polisi benar-benar
netral dalam menjalani tugasnya, polisi harus mampu berdiri ditengah masyarakat
dan pemerintah. Berbeda dengan polisi di Jepang, Amerika Serikat, dan
negara-negara maju lainnya yang menerapkan polisi masyarakat yang berdiri untuk
melindungi kepentingan masyarakat bukan pemerintah. Para polisi tersebut
menyadari bahwa mereka hidup dari ulurang tangan masyarakat melalui pajak
masyarakat sehingga secara sadar akan melindungi masyarakat. Berbeda dengan di Indonesia dimana
polisi tumbuh dari uluran tangan masyarakat namun berdiri untuk kepentingan
pemerintah. Hal ini terjadi karena kondisi politik Indonesia yang belum sehat
dan menempatkan kedudukan polisi yang masih terikat politik, bukan profesional
seperti negara maju. Selain persoalan polisi negara, sebenarnya masih banyak
masalah dalam kepolisian seperti sistem militer (seharusnya sipil), pendidikan
polisi, dan lain-lain.
Mahasiswa dan Polisi: Saling berbenah diri untuk menghindari kekerasan
Pada intinya
penulis mengajak untuk semua pihak seperti mahasiswa dan polisi untuk saling berbenah
diri. Bagi mahasiswa agar terus memperbaiki “cara” berdemo yang baik agar tidak
disalah tafsirkan oleh polisi sebagai tindak anarkis dan lepas dari esensi
berdemo. Bagi polisi, diharapkan lebih netral dalam menjalani setiap tugasnya
walaupun secara realita sangat sulit karena Indonesia masih menganut polisi
negara (polisi yang berdiri untuk kepentingan negara/bukan masyarkat). Jika mahasiswa
salah dalam berdemo maka polisi wajib menegur mahasiswa. Jika pemerintah (pejabat
terkait) enggan menemui mahasiswa yang berdemo untuk menjelaskan keadaan
masalah, maka polisi wajib memanggil pejabat tersebut untuk memberikan
penjelasan. Menurut penulis, ini adalah tindakan yang fair dari polisi dimana polisi adalah “wasit” dalam masyarakat dan
siapapun entah mahasiswa atau pejabat yang melanggar fair tersebut wajib dikenai sanksi hukum yang tegas demi
terciptanya kedamaian sosial dan terhindar dari konflik khususnya kekerasan.
Sumber:
Galtung, J. (1990). Cultural Violence. Journal of Peace Research ,
291-305.
Windhu, I. M. (1992). Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
0 komentar:
Posting Komentar