Pages

0 komentar

Ketika Media Massa Menjadi Sebuah Komoditas


Media massa senantiasa hidup di sekeliling kita selama 24 jam penuh setiap hari. Ditambah lagi, masyarakat mengakui membutuhkan media massa sebagai sumber infomasi. Namun sadarkah bahwa media massa sebenarnya telah mendominasi pikiran kita? Tentu bukan masalah ketika media massa telah memberikan edukasi kepada pembaca secara benar. Tetapi kebenaran di sini menjadi sebuah masalah dimana keobjektivan sebuah media massa dipertanyakan. Maka dari itu pembaca perlu mengkroscek kebenaran dengan mencocokkan kondisi lapangan. Namun sayangnya pembaca tidak mungkin mengkroscek dan tidak tahu kondisi realita dilapangan, hanya media massa yang tahu dan berkuasa atas konten berita yang ditampilkan.

Terlepas dari upaya-upaya pembelaan ataupun benar salah, dikutip dari Sindonews (15/3), diberitakan bahwa Anas telah menjadi korban sadisme dan kejahatan opini media. Secara tegas tertulis di artikel bahwa media massa adalah pihak yang paling bersalah dalam memberitakan kasus yang menjerat Anas. Anas mengkonfirmasi bahwa sebenarnya dia tidak seburuk yang dijelaskan media massa. Dengan dramatisasi karikatur yang seolah-olah melebih-lebihkan kejahatan yang dilakukan Anas ketika bertemu dengan Djoko Susilo. Hal ini menjadikan persepsi bahwa Anas terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM padahal Anas baru menjalani masa pemeriksaan. Hal ini secara tidak langsung media telah melakukan kejahatan karena tidak memberitakan secara berimbang kepada masyarakat dan seperti layaknya penggiringan opini.

Dipastikan akan timbul perdebatan para pembaca akan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan tokoh tersebut, namun bukan perdebatan benar salah tersebut yang akan saya bahas. Poinnya adalah saya merasakan bahwa terdapat space untuk media massa melakukan sebuah kejahatan khususnya White Collar Crime (WCC). Mengacu pada definisi WCC  dari Sutherland, WCC didefinisikan sebagai sebuah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kedudukan terhormat dan status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya. Secara jelas bahwa pelaku WCC  tersebut adalah sang pemilik perusahaan media massa yang tentunya memiliki kepentingan tersendiri atas konten berita yang dimuat. Para pemilik media massa tersebut berusaha untuk menjatuhkan Anas dengan membuat citra di masyarakat buruk dengan membuat jugdement bahwa Anas bersalah. Namun dibalik itu, sebenarnya masyarakat juga merupakan korban dimana mereka secara tidak sadar telah dibohongi dan diperalat oleh pemilik media massa agar membenci Anas.
  
Mengingat media massa adalah sebuah perusahaan maka kejahatan ini juga dapat dikategorikan sebagai Organizational Crimiminality (OC).  Dengan mengambil terminologi dari David O. Friedrichs, OC adalah kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan membawa nama organisasi tertentu untuk memenuhi tujuan bersama. Sebenarnya OC ini sama dengan corporate crime dimana mereka melakukan jalan tidak legal dalam memenuhi tujuan utamanya. Friedrichs menyadari bahwa terdapat dua jenis OC yaitu pencatatan sistem keuangan yang buruk sehingga menimbulkan OC dan pelanggaran hukum yang dilakukan organisasi. Dalam konteks kejahatan oleh media massa, maka pelanggaran hukum adalah poin kejahatan yang dilakukan.

Hukum yang dilanggar tentunya adalah kode etik jurnalistik dimana pasal 1 menjelaskan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.  Beberapa media massa di Indonesia seringkali melanggar pasal 1 tersebut dimana konten berita hanya sebatas alat untuk memuaskan kepentingan semata tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Selain itu berita juga dianggap sebagai komoditas barang dagangan sehingga apa yang masyarakat suka, maka dibuatkanlah tanpa mempertimbangkan keakuratan, independen, etikad baik dan berimbang. Pada akhirnya masyarakat luas menjadi korban kebohongan tersebut.

Namun perlu diingat bahwa kejahatan ini bukan kejahatan biasa yang dapat dikatakan sebuah kejahatan secara utuh. Seperti layaknya orang tidak berdosa, para pemilik perusahaan media massa menganggap hal ini adalah sesuatu yang biasa. Menjatuhkan lawan, menjual apa yang masyarakat suka, membohongi masyarakat dan segala permainan kotor adalah sesuatu yang normal, hal inilah yang disebut Tillman dan Indergaard sebagai criminogenic market structure. Mereka mengaku tanpa adanya tangan kotor seperti ini perusahaan tidak akan berdiri lama. Seperti kondisi yang terjepit memang, perlu anda ketahui perusahaan media massa adalah salah satu perusahaan yang tidak memberi keuntungan yang menjanjikan jika dibanding dengan perusahaan lain seperti bidang jasa dan barang. Maka dari itu, anggapan media massa setara dengan komoditas dagangan adalah suatu hal yang perlu untuk mempertahankan eksistensi perusahaan tersebut walaupun pada akhirnya kode etik dilanggar. Belum lagi ditambah persaingan antar media massa yang begitu banyak, ketat, dan dinamika politik yang muncul.

Criminogenic Market Structure (CMS) adalah sebuah gambaran yang paling tepat untuk menjelaskan mengapa kejahatan media massa terjadi. CMS mengibaratkan dirinya sebagai sebuah lingkungan hidup dimana lingkungan tersebut mengharuskan para anggota biota hidupnya untuk melakukan kejahatan untuk bertahan hidup. Entah itu merupakan perusahaan media massa ataupun orang di dalam perusahaannya. Terdapat paksaan dalam lingkungan perusahaan tersebut dimana seroang wartawan diharuskan untuk membuat sensasi yang menghebohkan agar tulisan yang dijual laku, hal ini disebut Needleman dan Needleman sebagai crime coercive. Selain itu Needleman dan Needleman juga mengatakan bahwa lingkungan hidup tersebut juga memfasilitasi seseorang atau organisasi untuk melakukan kejahatan atau crime facilitative.

Terakhir, jika berbicara tentang korban, maka dalam kasus ini Anas atau orang yang dibicarakan dalam berita adalah korbannya, namun dibalik itu sesungguhnya pembaca juga dapat menjadi korban karena kebohongan media massa. Namun sayangnya masyarakat tidak sadar bahwa sebenarnya mereka sedang dibohongi dan diperalat media massa. Selain itu ditambah lagi bahwa informasi bagi masyarakat adalah kebutuhan penting dan kebutuhan tersebut hanya ada di media massa. Jadi, masyarakat seringkali dicekoki oleh kebohongan media massa.  Belum lagi masalah tingkat kekritisan masyarakat yang masih rendah sehingga masyarakat seringkali disebut silent majority seolah hanya diam saja walau dirinya sedang dibohongi.