Pages

0 komentar

Sekilas tentang Intelejen Kepolisian


Intelejen merupakan sebuah proses pengumpulan, analisis, dan menyajikan hasil berupa data informasi dengan teknik khusus. Kemudian data informasi diberikan kepada pihak yang bertanggung jawab dalam membuat keputusan. Intelejen berasal dari kata integencia yang berarti cerdas. Cerdas dalam artian bahwa pencarian data harus holistik dan valid supaya resiko pengambilan keputusan dapat diminimalisir. Perlu diketahui bahwa intelejen dapat dilakukan siapa saja. Dimulai dari inisiatif individu, kelompok, organisasi, perusahaan, bahkan lembaga negara yang berniat untuk menggali data dalam penyusunan keputusan.

Kepolisian merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki satuan intelejen tersendiri. Amerika Serikat adalah pionir utama terbentuknya intelejen kepolisian. Tepatnya disaat pemerintah AS mendeteksi ancaman kejahatan kerah putih dan kejahatan terorganisasi. Awalnya kepolisian AS merasa kesulitan mendeteksi kejahatan tersebut dengan cara konvensional. Maka kemudian diperlukan teknik dan personel khusus untuk mendeteksinya. Di Indonesia, presiden pernah membentuk intelejen kepolisian pada tahun 1967 dan berhasil membongkar 24 sindikat kasus bisnis ilegal.

Suburnya praktik kejahatan di Indonesia membuat peran intelejen kepolisian menjadi sangat penting. KKN, rekening gendut, bisnis ilegal, penyalagunaan wewenang adalah salah musuh-musuh intelejen kepolisian. Walaupun sebagai musuh, intelejen kepolisian ternyata tidak berwenang untuk menangkap para pelaku tersebut. Intelejen hanya bertugas sebagai mencari informasi semata dan melaporkan kepada atasan. Kemudian atasan memberi keputusan berupa perintah kepada pihak kepolisian yang berwenang menangkap pelaku. Sebenarnya tidak hanya prinsip penyelidikan yang dilakukan intelejen kepolisian seperti yang diceritakan sebelumnya. Terdapat prinsip pengamanan dengan mendeteksi gangguan ancaman dini dan prinsip penggalangan yang berwujud propaganda kepentingan kepolisian atau negara.

Umumnya di intelejen kepolisian terdapat lima tahap dalam prinsip penyelidikan. Pertama adalah pengumpulan informasi sementara berdasarkan kebutuhan. Informasi ini akan menjadi landasan pertama dalam melakukan perencanaan. Kedua adalah perencanaan dimana unsur-unsur informasi harus sesuai dengan prinsip 5W + 1H (what, why, who, where + how. Ketiga adalah tahap pengumpulan data dengan menggunakan bahan keterangan (Baket). Keempat adalah tahap pengolahan dimana setiap informasi akan dicari kevalidannya melalui proses seleksi ketat. Terakhir adalah proses penyajian hasil data yang akan diberikan kepada pihak pembuat keputusan.

Selain itu prinsip penyelidikan terbagi menjadi dua jenis dalam mengali informasi yang diperlukan yaitu penyelidikan terbuka dan tertutup. Penyelidikan terbuka adalah jenis penyelidikan di mana informan sadar sedang diwawancarai oleh seseorang intelijen kepolisian. Interogasi, wawancara, riset, dan illicitacy. Kemudian penyelidikan tertutup adalah jenis penyelidikan di mana informan tidak sadar sedang diwawancarai oleh seseorang intelejen kepolisian. Jenis ini biasanya seringkali digunakan oleh para intelejen karena informan cenderung memberikan informasi yang sebenar-benarnya. Observasi, penggambaran (foto dan video), penyusupan, pendengaran, penyurupan (masuk tanpa diketahui), dan penyadapan adalah contoh penyelidikan tertutup.

Prinsip keamanan adalah salah satu prinsip yang harus dijaga oleh intelejen kepolisian karena intelejen berfungsi sebagai alat deteksi ancaman dan gangguan keamanan yang terjadi. Sebuah badan intelejen harus mampu mendeteksi segala ancaman yang terjadi yang menyangkut kepentingan utamanya. Misal intelejen kepolisian akan berusaha keras untuk mengaja ketertiban dalam masyarakat dan berusaha selangkah lebih maju dalam mendeteksi setiap kejahatan yang terjadi.

Prinsip penggalangan mutlak harus dilaksanakan oleh intelejen kepolisian. Penggalangan dalam intelejen berarti penggiringan opini masyarakat agar berkehendak sesuai harapan kepolisian. Lebih tepatnya semacam propaganda agar keamanan dalam masyarakat terpenuhi. Dikenal juga dengan operasi psikologi karena menyangkut psikologi masyarakat. Penggalangan dapat dilakukan dengan membuat poster, baliho, flyer, atau dengan membuat media massa kepolisian yang berisi ajakan-ajakan.

6 komentar

Robot Gedek dan Atribut Personalnya

Siswanto (33 th) merupakan seorang pelaku sodomi dan pembunuhan terhadap 8 anak jalanan yang sempat gencar oleh pemberitaan media massa pada tahun 1997. Dia kerap disebut sebagai “robot gedek” karena seringkali menggeleng-gelengkan kepalanya dan terlihat seperti robot gedek ketika sedang berjalan. Dalam kesehariannya sebagai pemulung, Siswanto seringkali mensodomi anak laki-laki jalanan. Dengan modus membujuk seorang anak jalanan dengan janji diberikan uang seribu dua ribu untuk dibawa ke suatu tempat. Kemudian dalam perjalanan anak tersebut dibawa ke sebuah tempat sepi dan langsung disodomi. Tidak hanya sodomi, Siswanto juga menghabisi nyawa anak tersebut (Museum Polri, 2009). Anehnya, saat pemeriksaan polisi ternyata Siswanto tidak merasa bersalah dan mengaku hal tersebut merupakan pemenuhan nafsu birahinya. Dia mengaku akan pusing jika tidak melakukan hal tersebut. Karena kasus yang menimpanya terhitung berat, maka Siswanto divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun sayangnya Siswanto sudah meninggal sebelum dieksekusi.

Mengapa Siswanto begitu tega mensodomi dan membunuh anak jalanan? Tentu hal tersebut menjadi sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh beberapa disiplin ilmu terutama psikologi dan lebih khususnya lagi psikopatologi. Dalam psikopatologi, Siswanto jelas mempunyai sifat yang melekat dalam dirinya yang dibentuk melalui nature and nurture. Nature merupakan sifat-sifat yang melekat pada individu melalui penurunan sifat secara biologis seperti turunan genetika, struktur otak dan syaraf (Getzfeld, 2004). Sedangkan Nurture merupakan sifat-sifat yang melekat pada individu berdasarkan sosialisasi yang didapat seperti kemampuan bersosialisasi, seperti learning ability. Dalam segi nature akan dijelaskan bagaimana kasus robot gedek terjadi seperti aspek kognitif seperti IQ dan struktur otak. Kemudian dari segi nurture yaitu learning disabilities, self control, attitudes, dan sociocognitive. Terakhir, saya akan menjelaskan keterbatasan analisis psikologi pelaku kejahatan supaya pembaca dapat mencari bahan bacaan pertimbangan untuk memperluas wawasan tentang sebab musabab pelaku kejahatan. 

Kecerdasan (IQ)
Kecerdasan atau lebih tepatnya IQ merupakan sebuah sesuatu yang diturunkan secara genetika induknya. Sehingga kemungkinan besar jika orang tua memiliki IQ yang tinggi maka hal yang sama akan terjadi kepada anaknya. Dibalik itu, memang sebenarnya tidak patut kita menjustifikasi bahwa IQ adalah tolak ukur kecerdasan, namun tidak dipungkiri pula IQ masih digunakan untuk menentukan kecerdasan karena memiliki tolak ukur yang jelas. Dalam kasus robot gedek maka dapat disimpulkan bahwa Siswanto memiliki tingkat IQ tertentu sehingga dapat melakukan tindak kejahatan. Sebenarnya semua tingkat IQ mempunyai tingkat kemungkinan melakukan kejahatan yang sama, namun yang membedakan adalah jenis kejahatan yang dilakukan dan tingkat kemudahan dalam mendeteksi kejahatan. IQ yang rendah maka umumnya merupakan kejahatan jalanan dan mudah dicari jejak pelakunya. Sebaliknya, IQ yang rendah maka jenis kejahatan yang dilakukan kemungkinan kejahatan kelas atas ataupun kejahatan jalanan yang pastinya susah dideteksi keberadaannya. Karena kejahatan Siswanto termasuk kejahatan jalanan dan ternyata mudah terbukti perbuataannya maka diperkirakan pelaku memiliki IQ yang rendah. IQ rendah tersebut menjadikan Siswanto memiliki problem solving yang kurang sehingga mudah melakukan tindak kejahatan sebagai alternatif utamannya.

Struktur Otak
Neuroscience merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang sistem dan fungsi syaraf otak yang biasanya berhubungan dengan kognisi seseorang. Dalam kasus robot gedek maka dapat disimpulkan bahwa sistem syaraf pelaku sedang mengalami kerusakan sehingga fungsi syaraf otak seksual tidak berorientasi dengan benar. Ditambah lagi kerusakan di sistem syaraf otak yang mengatur rasa simpati dan empati dalam diri pelaku sehingga tega membunuh anak-anak setelah disodomi. Tentunya dalam hal ini, Siswanto dimungkinkan pernah mengalami kejadian sesuatu yang dapat merubah fungsi otaknya hingga dapat berperilaku sebagai penjahat.

Ketidakmampuan belajar (Learning disablities)
Ketidakmampuan belajar ditandai dengan adanya antisocial development yang berupa pembangkangan dalam proses belajar Siswanto. Dengan kasus sodomi dan pembunuhan yang merupakan perilaku tidak wajar maka proses belajar Siswanto dipastikan memiliki ketidakwajaran. Proses yang tidak wajar tersebut ditandai dengan pembangkangan terhadap nilai-nilai yang diajarkan oleh agen-agen sosial seperti keluarga, teman sepermainan, dan sekolah. Kemudian pencapaian prestasi juga mengakibatkan seseorang menjadi seorang pejahat seperti Siswanto. Pencapaian prestasi yang diukur dengan kemampuan mengetahui nilai luhur dalam masyarakat seperti toleransi, perikemanusiaan, hak asasi manusia, tenggang rasa, kejujuran dan nilai-nilai lain dirasa telah gagal diperoleh Siswanto. Dalam kegagalan pencapaian prestasi tersebut, maka Siswanto cenderung mendapat tekanan dan cap buruk dari masyarakat sehingga cap tersebut malah mendukung Siswanto untuk bertindak nakal hingga jahat.

Kontrol diri dan tekanan hati
Kontrol diri sangat berpengaruh dalam menjaga individu untuk tidak berperilaku jahat. Kontrol diri merupakan hasil dari proses belajar seseorang sehingga apabila seseorang terbilang sukses dalam proses belajar, maka kontrol diri semakin kuat. Siswanto dalam melakukan sodomi dan pembunuhan terhadap 8 anak dapat dikatakan kontrol diri Siswanto sangat kurang. Ditambah lagi pernyataan Siswanto dimana tidak ada rasa bersalah dalam dirinya karena menganggap kejahatan tersebut adalah sebuah kebutuhan. Hal ini proses belajar pelaku yang mengalami masalah saat timbul pandangan bahwa kejahatan adalah kebutuhan yang membuat kontrol diri menjadi lemah. Selain kontrol juga terdapat tekanan hati atau impulsivity yang mampu menahan seseorang untuk tidak melakukan kejahatan. Siswanto ternyata tidak memiliki tekanan hati yang kuat untuk menahan diri mensodomi anak jalanan dan membunuhnya.  

Sikap, nilai, dan kepercayaan
Dari penyataan bahwa sodomi dan pembunuhan adalah sebuah hal biasa oleh Siswanto, maka dapat dianalisis bahwa sikap, nilai, dan kepercayaan mengalami ketidakwajaran. Dimulai dari sikap dengan analisis teori psikoanalisa yaitu id, ego, dan superego, maka Siswanto memiliki masalah dalam tataran superego dimana tidak ada rasa tanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Rasa perikemanusiaan dan kasih sayang kepada anak-anak terutama anak jalanan hilang pada diri pelaku. Padahal perlu diketahui bahwa superego adalah tahap terpenting bagi individu agar dapat berperilaku normal dan diterima oleh masyarakat. Dari segi nilai dan kepercayaan menurut teori subkultur, Siswanto memiliki kepercayaan dan nilai subkultural seperti menolak kebiasaan rutin masyarakat, ketertarikan dengan hal yang berbeda dengan umumnya masyarakat, dan segala nilai kepercayaan yang buruk bagi masyarakat namun baik dimata Siswanto. Hingga akhirnya dengan sadar menjustifikasi bahwa kejahatan pada dirinya adalah sebuah kebutuhan.

Sosiokognitif dan kemampuan interpersonal
Sosiokognitif dan kemampuan interpersonal terbagi menjadi tiga yaitu role taking, emphaty, dan guilt. Role taking adalah proses pada kemampuan individu untuk mengambil peran di dalam masyarakat.  Perilaku abnormal yang terjadi pada Siswanto mengindikasikan bahwa dia mempunyai kemampuan role taking yang buruk dalam masyarakat. Dia cenderung tidak dapat menempatkan diri sebagai orang dewasa yang seharusnya melakukan hubungan seksual kepada istrinya yang berjenis kelamin perempuan dan sama-sama dewasa, bukan kepada anak-anak yang memiliki jenis kelamin yang sama. Siswanto ternyata gagal menempatkan diri sebagai orang dewasa yang bijak pelindung anak-anak sehingga rasa empati hilang pada dirinya. Empati kepada anak-anak jalanan yang mestinya dia lindungi dan dikasihi karena kurang perhatian oleh orang tua,  Siswanto malah melakukan hal yang tidak pantas dilakukan dengan mensodomi dan membunuh secara sadis. Ditambah lagi perasaan tidak bersalah dalam diri Siswanto menjadikan kemampuan interpersonal menjadi bertambah buruk.

Keterbatasan analisa Psikologi dalam menganalisis kasus kejahatan
Seperti yang dikatakan sebelumnya,  psikologi hanya mampu melihat sebuah kejahatan dengan cara pandang tersendiri yaitu sebab musabab individu pelaku. Sehingga psikologi mempunyai sebuah stand point tersendiri dan fokus terhadapnya dalam melihat kejahatan. Tentunya hal ini menjadikan sebuah kelemahan dari psikologi itu sendiri karena kejahatan sangat luas dapat dipandang dari sisi pelaku, kejahatan sendiri, korban, dan reaksi sosial. Sehingga perlu sekali bagi para pembaca khususnya para kriminolog untuk mengkaji lebih dalam dari sisi ilmu disiplin lain selain psikologi seperti sosiologi, komunikasi, politik, ekonomi, hukum, kedokteran, dan lainnya. Hal ini akan menambah wawasan untuk mengetahui secara luas mengapa kejahatan itu ada sehingga diperoleh  penjelasan yang komprehensif.