Pages

8 komentar

Lembaga Eksekutif


"Tulisan iniaga eksekutif dari buku Dasar-Dasar Ilmu Politik dari Prof. Miriam Budiardjo"

Dalam suatu negara biasanya terdapat suatu lembaga dimana lembaga tersebut merupakan lembaga elit yang disebut lembaga eksekutif. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang terdiri dari kepala negara dan menteri-menterinya. Dalam lembaga eksekutif terdapat dua sistem yaitu presidensial dan parlementer. Dari segi jumlah lembaga eksekutif memang lebih sedikt daripada lembaga-lembaga yang lain, biasanya hanya 20-30 orang dan berbeda dengan lembaga legislatif yang mencapai 1000 orang lebih. Lembaga eksekutif sebagai kecil dan efektif memiliki tugas berdasarkan asas trias politika yaitu melaksanakan kebijakan yang telah dibuat oleh DPR. Dalam perkembangannya saat ini bahwa wewenang lembaga eksekutif  lebih luas hal ini didorong oleh faktor teknologi, modernisasi, politik, dan lain lain. Dalam menjalankan tugas lembaga eksekutif memiliki tenaga kerja yang kompeten dengan keahliannya dan berbagai fasilitas yang memadai. Hal ini menyebabkan lembaga legislatif tidak ada artinya maka dari itu lembaga legislatif harus mengawasi lembaga eksekutif agar tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan.
Wewenang Lembaga Eksekutif
 Lembaga eksekutif memiliki wewenang antara lain administratif, legislatif, keamanan, yudikatif, dan diplomatik. Wewenang diatas dapat kita pelajari lebih jelas di buku halaman 296 tetapi dari wewenang tersebut muncul suatu pertanyaan bagaimana bisa lembaga eksekutif mengambil wewenang legislatif dan bukannya legislatif merupakan wewenang dari lembaga legislatif. Dalam hal ini perlu kita bahas bahwa legislatif di sini adalah lembaga eksekutif hanya sebagai pembimbing lembaga legislatif dalam membuat kebijakan sehingga ada suatu hasil yang baik di pihak eksekutif dan legislatif.
Beberapa Macam Lembaga Eksekutif
Dalam pengertian lembaga eksekutif sempat disinggung bahwa terdapat dua sistem lembaga eksekutif yaitu sistem parlementer dan presidensil. Namun diantara dua hal tersebut masih terdapat pembedaan lagi. Pertama sistem parlementer dengan parliamentary executiven yaitu lembaga eksekutif dan legislatif saling bergantung dan seimbang. Dan kedua sistem presidensial dengan fixed executive atau non-parliamentary executive yaitu sistem dimana lembaga eksekutif tidak bergantung pada lembaga legislatif dan kedudukan lembaga eksekutif lebih kuat sehingga dalam menentukan menteri lembaga eksekutif terlepas dari pihak politik dan dapat memilih sesuai dengan keahlian dan kepentingan lembaga eksekutif.
Sistem parlementer dengan parliamentary executive adalah sistem yang seimbang antara lembaga eksekutif dan legislatif dan dalam mencapai keseimbangan ini bisa tercapai jika terdapat partai yang besar dan dapat membentuk kabinet di eksekutif dengan kekuatannya sendiri di legislatif. Ataupun jika tidak ada partai yang besar mungkin karena terlalu banyak partai seperti di Indonesia dapat menggunakan kabinet koalisi. Apabila terdapat krisis kabinet maka dapat melakukan ekstra parlementer dimana pembentukan kabinet lepas dari unsur politik dan dibentuk sesuai dengan keahlian. Menurut sejarah ketatanegaraan Belanda terdapat ekstra parlementer yaitu zaken kabinet yaitu kabinet yang melaksanakan suatu program yang terbatas dan kabinet nasional yaitu kabinet yang diambil dari berbagai golongan masyakat dan diharapkan dapat mencerminkan rasa persatuna nasional.
Sistem presidensial dengan fixed executive atau non parliamentary executive adalah lembaga eksekutif yang tidak terpengaruh dengan legislatif dan memiliki masa jabatan tertentu. Kedudukan  eksekutif lebih kuat dalam menghadapi legislatif. Menteri-menteri dipilih oleh presiden dengan pertimbangan keahlian dan terlepas dengan unsur politik. Sistem ini dipakai oleh Amerika Serikat, Pakistan, dan Indonesia. Di Amerika Serikat, kekuasaan eksekutif sangat lepas dari legislatif dan legislatif tidak boleh mencampuri urusan eksekutif dengan asas trias politica klasik. Di Pakistan sistem ini dipakai di bawah Jenderal Ayub Khan, hal yang paling mencolok adalah bahwa presiden dapat memveto rancangan undang-undang yang diajukan lembaga legislatif dan presiden dapat membubarkan lembaga legislatif tapi presiden harus mengundurkan diri selama empat bulan dan mengadakan pemilu yang baru.
Badan Eksekutif di Negara-Negara Komunis
Pembagian eksekutif di negara-negara komunis biasanya berkiblat kepada Uni Soviet. Fungsi eksekutif di Uni Soviet dibagi dua badan yaitu antara dewan perwakilan rakyat dan Presidium Soviet Tertinggi dalam kabinet. Pembagian kekuasaan di negara ini agak kabur (pada intinya kedudukan tertinggi adalah badan legislatif) namun sebernarnya juga membagi seperti dalam trias politica. Kedudukan presidium sangat unik karen pada saat melakukan wewenang semua berkedudukan sama hanya pada saat upacara formal seperti mennyematkan tanda jasa oleh ketua presidium atau disebut juga presiden. Presidium mempunyai wewenang yudikatif yaitu dapat membatalkan aturan dan kebijakan yang tidak sesuai dengan undang-undang dan memliki tafsiran undang-undang sendiri dan mengikat. Anggota kabinet berkisar antara 25 dan 50 orang dan diangkat oleh Soviet Tertinggi dan bertanggung jawab kepadanya. Kabinet beranggotakan 17 orang dan memiliki kewenangan yang tinggi namun hakekatnya hanya melaksanakan aturan yang sudah ditetapkan. Hal sama juga diterapkan di Cina dimana Chinese Party Congress merupakan organ partai tertinggi yang membuat kebijakan-kebijakan penting. Komite Sentral Partai Komunis China adalah organ yang lebih kecil tapi jumlahnya 198 orang masih cukup besar untuk dapat berjalan efektif. Komite ini merangkap dari kelompok minoritas, petani, buruh, pengusaha, dan militer. Funsinya menentukan kebijakan tapi bukan kebijakan yang final. Politbiro adalah partai yang lebih kecil kagi diantara dua partai tadi beranggotkan 25-35 yang memiliki kewenangan yang besar dalam mempengaruhi politik. Kemudian ada lagi partai yang terkecil di Cina bernama Standing Commitee of  The Politbiro beranggotakan5-9 orang. Ketua partai ini juga sebagai ketua Partai Komunis Cina. Perdana menteri di Cina bertugas sebagai mengatur megorganisir birokrasi dan administrasi pemerintah pusat sampai lokal. Terdapat pembagian tugas antara presiden dan perdana menteri yaitu perdana menteri adalah bertanggung jawab atas kebijakan negara dan presiden adalah mencari dukungan politik untuk kebijakan negara.
Lembaga Eksekutif di Indonesia
Lembaga eksekutif di Indonesia terdiri dari presiden, wakil presiden dan  menteri-menteri. Tugas lembaga eksekutif adalah menjalankan kebijakan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh DPR. Namun dalam menetapkan kebijakan itu lembaga eksekutif memiliki hal legislatif untuk membimbing DPR dalam menentukan kebijakan. Di Indonesia lembaga eksekutif dan legislatif adalah sama dalam kedudukan yang bertujuan agar lembaga-lembaga tersebut dapat saling mengawasi apabila ada salah satu lembaga tersebut yang keluar dari garis-garis yang telah ditetapkan.   Dengan mengacu pada UUD 1945 lembaga eksekutif khususnya presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden juga dapat dipecat apabila sudah tidak layak dalam menjalankan tugasnya, dalam hal ini pemecatan dilakukan oleh MPR.
Kesimpulan
Setelah mereview tentang lembaga eksekutif mulai dari apa itu lembaga eksekutif hingga lembaga eksekutif di negara Amerika Serikat, Uni Soviet, China, dan Indonesia sebenarnya inti pemerintahan tertinggi adalah lembaga eksekutif itu sama entah itu merupakan badan legislatif yang “tertinggi” seperti di  Uni Soviet hanya tidak terlalu terasa alias kabur. Peranan badan eksekutif sangatlah penting sebagai lembaga elit efisien dalam mengorganisir suatu negara dan menjalankan kebijakan-kebijakan negara. Namun di negara demokratis seperti Indonesia, Uni Soviet, dan lain-lain apabila kita lihat aturan bahwa kebijakan negara adalah bersumber dari parlemen dimana merupakan bagian aspirasi rakyat sangatlah berbeda dengan kenyataan, kita lihat di Uni Soviet bahwa Partai Komunis sangatlah dominan dalam menentukan kebijakan negara dan seolah-olah negara adalah alat untuk menentukan kebijakan partai. Di Indonesia, hampir sama atau malah lebih parah dimana banyak sekali pelanggaran yang dilakukan lembaga eksekutif seperti contoh yang dilakukan oleh Presiden Suharto dimana Partai Golkar yang sangat dominan di lembaga legislatif dan eksekutif sehingga negara seolah-olah hanya milik mereka. Penulis berharap setelah mereview tugas ini, semoga review ini dapat menjadi koreksi dan meluruskan apa saja pelanggaran yang telah terjadi di lembaga eksekutif dan menjadi acuan reformasi birokrasi dan membawa perubahan yang lebih baik. 

1 komentar

Supaya Anggota DPR tidak Ngantuk


Berbicara tentang anggota DPR memang tidak ada habisnya. Mulai masalah gaji DPR yang besar, tunjangan, kunjungan di luar negeri, sampai yang sepele yaitu mengantuk dan akhirnya tidur. Berbicara soal anggota DPR yang tidur, sebenarnya kalau kita cermati ada beberapa tips kecil yang cukup berguna agar anggota DPR lebih melek atau mungkin bisa menjadi sebuah kebijakan atau topik pembicaraan yang menarik nantinya.
Berikut tipsnya adalah pertama apabila kita cermati kursi-kursi di DPR, kursi tersebut  besar, nyaman, empuk, santai dan tentunya bukan mustahil jika kursi tersebut dapat membuat anggota DPR tertidur. Nah, alangkah baiknya kursi DPR itu diganti layaknya kursi yang tanpa busa empuk dan tanpa sandaran kursi atau lebih baik lagi kursi seperti di angkringan tempat jualan nasi kucing di Jogja dan Solo agar lebih “merakyat”. Jika kursi trsebut diganti, dana yang dialokasikan juga tidak terlalu besar dan terlihat lebih praktis. Kedua, apabila masih ada anggota DPR masih bandel karena masih tertidur dengan meletakkan kepala di meja, mari kita akali saja dengan menghapuskan alias dihilangkan supaya anggota DPR lebih bisa melek dan mungkin akan lebih terlihat apabila sedang mengantuk, tetapi jika anggota DPR merasa tidak nyaman menulis diberikan saja kursi seperti di perkuliahan namun tanpa sandaran tentunya. Ketiga, tentang AC di gedung DPR. Lebih baik dihidupkan dalam temperatur normal artinya tidak terlalu dingin karena kita tahu bahwa dingin dapat mengakibatkan ngantuk. Terakhir adalah untuk siapa saja yang berbicara di DPR sebaiknya selipkan sedikit humor tanpa mengurangi maknanya.
Itulah  tadi tips kecil agar anggota DPR tidak ngantuk dan lebih bisa “mewakili” rakyat dengan sepenuh hati dan aspirasi rakyat lebih tersalurkan. Harapannya adalah supya DPR sebagai peran yang vital dalam sebuah negara harus bisa bertugas lebih profesional.   

140 komentar

Sabung Ayam di Bali, Judi yang Menjadi Tradisi Apakah Dapat Diberantas?

Sabung ayam di Bali (dipetik dari sujarwo-art.blogspot.com)



Sabung ayam merupakan salah satu tradisi yang berupa ayam yang diadu dimana tujuannya adalah mencari materi. Biasanya sabung ayam merupakan sebuah perjudian yang tentunya hal ini dilarang oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Pada tanggal 24 Desember 2008, polisi melakukan banyak razia serentak sabung ayam di beberapa daerah di Lumajang, Jakarta, dan Toraja dimana daerah tersebut sabung ayam sangat dilarang oleh pemerintah. namun hal ini berbeda di Bali dimana sabung ayam adalah tradisi yang disebut dengan Tajen. Tajen merupakan salah satu ritual di Bali yang disebut tabuh rah. Maka disini timbul pertanyaan bagaimana bisa pemerintah memberantas judi ini jika ada masyarakat yang menganggap judi sabung ayam merupakan tradisi bahkan ritual? Atau mungkin ini merupakan kedok dari masyarakat Bali agar bisa melakukan judi tanpa melanggar hukum?  
Dalam sisi antropologi hal ini melatarbelakangi Clifford Geertz untuk meneliti Tajen. Geertz ingin menjelaskan bahwa sabung ayam bukan hanya sekedar hanya pertandingan antar ayam jago saja tetapi di dalam sabung ayam tersirat makna bahwa yang bertarung adalah manusianya atau pemilik ayam jago tersebut. Dalam kesehariannya, mereka menghabiskan waktu untuk merawat ayam jago kesayangan mereka masing-masing yang akan pertandingkan. Biasanya mereka berjongkok bermalas-malasan di bengsal pertemuan atau di sepanjang jalan dengan pinggul di bawah, bahu ke depan, seperti berlutut, separuh atau lebih dan memegang seekor jago, mengapit seekor jago diantara kedua pahanya, naik turun dengan lembut untuk menguatkan kaki-kakinya, membelai bulu-bulunya. Usai pertandingan, yang memenangkan pertandingan maka sang ayam akan dibawa pulang kerumah sang pemenang dan dimakan bersama. Bagi mereka yang telah kalah dalam sabung ayam akan merasa sangat malu dan pada masyarakat karena harga dirinya telah jatuh terinjak-injak. Hal utama yang ditekankan dalam sabung ayam orang Bali bukan terletak pada uang atau taruhannya, melainkan isi dari pertandingan sabung ayam tersebut meskipun uang mempunyai peran yang sangat penting. Isi atau makna yang tersirat dalam pertandingan sabung ayam itu adalah perpindahan hierarkhi status orang Bali ke dalam susunan sabung ayam. Dalam hal ini sabung ayam dilihat sebagai sebuah indikator dari kepribadian laki-laki yang dijunjung tinggi kedudukannya dalam masyarakat.. Ayam jantan yang dipakai dalam sabung ayam dicirikan sebagai pengganti kepribadian si pemilik ayam jago dan sabung ayam dengan sengaja dibentuk menjadi sebuah simulasi matriks sosial, sistem yang berlaku dari kelompok- kelompok yang besilangan, bertumpang tindih. Pertandingan tersebut, menurut Geertz, hanya ada di antara orang-orang yang sejajar dan dekat secara pribadi. Tetapi terkadang juga digelar diantara individu-individu dengan status tinggi. Jika ditelaah lebih mendalam maka semakin dekatlah pertandingan sabung ayam itu dengan manusia yang semakin memberikan yang terbaik darinya dan pada akhirnya mengarah kepada pencirian si ayam jago.
Dipandang dari aspek kriminologi, sebuah judi merupakan perilaku menyimpang dimana perilaku menyimpang adalah perilaku yang melanggar ketentuan sosial namun tidak ada pihak lain yang dirugikan. Jika dikaitkan dengan sabung ayam yang ada di Bali, kriminologi berasumsi bahwa perilaku didefinisikan menyimpang, nakal, atau jahat karena masyarakatlah yang mendefinisikannya sendiri. Mengapa polisi melakukan razia di Jakarta, Toraja, dan Lumajang? Mengapa tidak di Bali saja walaupun ada juga beberapa polisi yang melakukan razia hanya dibeberapa tempat yang ditenggarai sebagai tempat perjudian sabung ayam yang berpotensi terjadi tindak kejahatan. Jawabannya adalah bahwa seperti asumsi kriminologi di atas, yang pasti bahwa sabung ayam selain di Bali merupakan hal yang meresahkan masyarakat sekitar. Nalarnya mungkin pada perjudian tersebut juga ada hal-hal yang dilakukan seperti pemabukan yang kemudian menjalar pada pencurian, pemerkosaan, dan lain-lain sehingga pengaduan kepada pihak kepolisian atas nama masyarakat meningkat. Namun hal ini berbeda di Bali bahwa sabung ayam merupakan bagian dari ritual tabuh rah. Masyarakat Bali tentunya tidak merasa dirugikan bahkan mendukung dan pada intinya sabung ayam di Bali malah berujung pada hal yang positif pula misalkan untuk menggalang dana bagi korban bencana alam. Namun selain sebagai bagian dari ritual, masih saja ada masyarakat bali yang menyalahgunakan ritual tersebut sehingga polisi tidak pandang bulu dalam merazia judi sabung ayam di Bali.
Inti dari masalah ini adalah menyimpang atau tidaknya judi sabung ayam tergantung dari masyarkat itu sendiri. Jika sabung ayam meresahkan masyarakat maka sabung ayam dapat pula sebagai tindakan melanggar hukum bahkan bisa dikatakan kejahatan jika dilakukan secara berulang-ulang. Sebagai pemerintah khususnya polisi sebagai institusi peradilan sebaiknya tidak usah terlalu bimbang dalam pemberantasan judi sabung ayam dan hendaknya dalam memandang sebuah sabung ayam juga mempertimbangkan aspek antropologi dan kriminologi sehingga dalam memecahkan masalah tersebut dapat terselesaikan secara bijaksana.
Sumber:
http://www.scribd.com/doc/24711270/SABUNG-AYAM-MASYARAKAT-BALI-DALAM-PENDEKATAN-INTERPRETATIF-CLIFFORD-GEERTZ

14 komentar

Tradisi Sati Layakkah?


Anda tahu tradisi sati? Tradisi sati adalah tradisi pembakaran janda hidup-hidup dalam agama hindu apabila sang suami meninggal. Tradisi ini dilakukan karena menurut agama hindu hal ini menunjukkan kesalehan dan kesetiaan sang istri kepada suami. Dulunya tradisi ini muncul di daerah pelosok India Utara sebagai pemujaan terhadap Dewi Sati. Namun di sisi lain alasan mengapa melakukan sati agar si janda tersebut tidak diperkosa oleh laki-laki lain. Menurut kepercayaan pemeluk agama hindu terdahulu seorang laki-laki atau suami adalah tuan lord dari perempuan atau istri sehingga apabila sang suami meninggal, sang istri merasa dirinya sudah tidak ada arti atau sudah tidak mempunyai masa depan lagi maka hal tersebut merupakan salah satu faktor janda melakukan sati.
Pada tahun 2006 di Desa Baniyani, seorang perempuan bernama Kariya Bai secara sadar telah melakukan bunuh diri dengan cara menerjunkan diri ke perapian sang suami. Bai berusia 95 tahun yang ditinggal suami karena suatu penyakit menahun. Jauh sebelum melakukan hajatnya, menurut tetangga, konon Bai menurut selalu berpesan bahwa keinginan terakhirnya adalah mati bersama sang suami. Hal ini diungkapkan selama bertahun-tahun ketika suaminya mulai sakit-sakitan. Baginya, hidup tanpa suami tiada artinya sama sekali. Sementara itu, dalam wasiatnya, suami Bai ingin dikremasi di tanah ladang miliknya jika dia meninggal. Ketika dia meninggal, anak-anak lelakinya membuat api kremasi di tanah ladang dan mulai membakar jasad sang ayah. Selanjutnya, Bai, wanita tak berpendidikan ini, benar-benar memutuskan untuk melakukan bakar diri dengan melompat ke perapian. Dengan sangat tenang, ia meletakkan kepala sang suami dipangkuannya sebelum akhirnya api menjilat tubuhnya dan mengantarkannya ke kematian pula.
Walaupun sati merupakan suatu tradisi jaman dahulu dan kemudian dewasa ini sangat dilarang dan dihapuskan oleh pemerintah India, tradisi sati masih kerap dilakukan oleh masyarakat India. Faktor-faktor kerapnya tradisi sati dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan di India terutama di daerah pelosok, tingginya kepercayaan masyarakat terhadap Dewi Sati, dan pandangan masyarakat akan suami adalah segala-segalanya atau lord bagi istri. Faktor pendidikan ini sangat ironi karena saat ini India sangat diperhitungkan dalam kemajuan negara terutama bidang pendidikan. Di India terdapat 300.000 lulusan insinyur tiap tahunnya namun masih banyak rakyatnya yang buta huruf. Faktor kepercayaan terhadap Dewi Sati ini ditunjukkan dengan banyaknya candi-candi pemujaan terhadap Dewi Sati dan masih ada praktek tradisi sati di pelosok walaupun secara sembunyi-sembunyi. Faktor pandangan masyarakat tentang ketimpangan gender ini sangatlah sulit dirubah karena sudah melekat kepada masyarakat sejak dahulu dan satu hal pertanyaan yang menarik bahwa mengapa kaum perempuan menerima tradisi tersebut karena dahulu nyatanya banyak pula janda yang takut bila melakukan tradisi tersebut. Jadi apakah para janda terpaksa dalam melakukan tradisi tersebut? Dan jika kaum perempuan khususnya janda banyak yang tidak setuju mengapa masih dilakukan dan ini jelas-jelas kebudayaan yang tidak sesuai dengan karakter masyarakat tersebut? Dan apakah tradisi sati merupakan salah satu tindak kejahatan?
Dalam kajian antropologi, sati ini merupakan hal yang unik dan patut dipelajari walaupun di mata masyarakat lain ini merupakan hal yang tidak adil dimana seorang laki-laki lebih diagungkan daripada perempuan. Dalam menjawab pertanyaan tersebut perlu kita ketahui apa itu tradisi dan kebudayaan. Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. Kebudayaan adalah hasil karsa, rasa, dan cipta yang diterima oleh masyarakat kemudian menjadi karakter masyarakat. Menurut penulis  dalam kasus ini, sati merupakan sebuah tradisi dan bukanlah sebuah kebudayaan karena sati dulunya hanya dilakukan oleh seorang dimana orang tersebut dijadikan panutan oleh masyarakat dan kemudian masyarakat menirunya tanpa memikirkan secara rasional. Proses meniru ini bukanlah semata-mata kaum perempuan secara sukarela ingin menirunya tetapi kaum laki-lakilah yang menganjurkan (dibaca memaksa) kaum perempuan melakukan hal yang serupa jika suaminya meninggal. Penganjuran laki-laki ini berlaku karena dalam masyarakat India dahulu laki-laki memang memengang peranan penting di setiap aspek kehidupan. Maka dapat disimpulkan bahwa tradisi sati sejatinya bukanlah kebudayaan karena tidak diterima oleh seluruh masyarakat khusunya kaum perempuan.  
Dalam perspektif yang terlepas dari semua pandangan, hal ini merupakan tindakan kejahatan karena tradisi sati merupakan tindakan yang merugikan bagi pihak perempuan. Namun arti kejahatan di sisi kriminologi adalah suatu pola tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat dan bersifat relatif yaitu suatu hal dikatakan kejahatan tergantung dari cara orang memandangnya. Dalam mengkaji sebuah kejahatan harus melihat beberapa unsur seperti pola kejahatan, pelaku kejahatan, reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Sati apabila dipandang oleh masyarakatnya adalah pola tindakan bukan kejahatan namun apabila dilihat dari masyarakat lain merupakan kejahatan dan sangat melanggar HAM. Melihat rugi tidaknya bagi masyarakat India dahulu, pembakaran diri seorang perempuan merupakan suatu hal yang diagungkan karena setelah meninggal dia akan dikenang dan dipuja oleh masyarakatnya sehingga perempuan tidak merasa dirugikan. Dari pola pelaku kejahatan, menurut masyarakat setempat pelaku kejahatan tidak ada karena sati dilakukan oleh pemuka agama yang dihormati oleh masyarakatnya. Berbeda jika hal tersebut dilakukan oleh masyarakat lain walaupun itu dilakukan oleh pemuka agama tetap saja akan ditentang oleh masyarakat. Dari aspek reaksi masyarakat, dari masyarakat India sati malah disambut baik oleh masyarakatnya. Namun berbeda jika dilakukan masyarakat lain maka akan ditentang dan dihapuskan tradisi tersebut karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Setelah dipaparkan hal-hal di atas, apa yang harus dilakukan atau problem solving pemerintah India untuk mengatasi tradisi sati yang sangat kontroversial karena di pihak pemerintah tradisi sati sangat dilarang namun masyarakat pelosok India masih melakukannya. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu meningkatkan kualitas pendidikan di pelosok India, menyadarkan para tokoh agama yang menganjurkan sati agar sati segara dihapuskan karena membawa dampak buruk bagi masyarakat, dan menyadarkan masyarakat bahwa sati sangat tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan melanggar hak asasi manusia.     

2 komentar

Hakikat Kehidupan


“Saya sangat yakin bahwa setiap manusia diciptakan di dunia untuk menemukan hakikat hidupnya masing-masing.”


Setiap orang pasti menginginkan kemuliaan hidup entah bagaimana cara untuk mendapatkannya. Kemuliaan seseorang tentunya memiliki tolak ukur sangat relatif yang dihadapkan dengan keinginan seseorang. Bagi orang yang memiliki tolak ukur yang tinggi tentu orang tersebut sangatlah menginginkan perubahan positif dalam hidupnya. Perubahan positif tersebut tentunya sangat beragam ada yang menginginkan jabatan yang lebih tinggi, pangkat yang terhormat, kekayaan yang melimpah dan masih banyak lagi. Bagi orang yang memiliki tolak ukur yang rendah tentunya merekalah sekelompok orang yang tergolong “menerima apa adanya”. Segala yang diterimanya dirasa cukup dan “sesuatu yang lebih” bukanlah inti dari tujuan mereka.
Hakikat hidup mewarnai hidup seseorang dan merupakan salah satu motivator terhandal yang melandasi tindakan setiap manusia untuk mencapai suatu kemuliaan. Terlepas dari agama dan hal-hal yang berkenaan dengan “ keakhiratan”, semua orang memiliki hakikat masing-masing yang merupakan kesimpulan dari pengalaman-pengalaman hidup seseorang. Ada orang yang meyakini bahwa hidupnya adalah untuk hobinya entah itu olahraga, seni, ataupun sampai berkaitan dengan hal yang buruk seperti melakukan kejahatan. Adapula orang yang memiliki hakikat bahwa dia adalah orang yang mampu mengubah kehidupan menjadi yang lebih baik sehingga dia akan berusaha keras untuk meraihnya.
Hakikat setiap orang itu selalu berubah seiring dengan tingkat kematangan seseorang. Hakikat hidup akan senantiasa berubah melandasi setiap tindakan manusia. Bertahannya suatu hakikat hidup tentunya dilandasi oleh banyak faktor yang sangat abstrak yang hanya diketahui oleh setiap individu. Ada yang mengatakan seperti “be your self!” tentunya hakikat kehidupan ini masih dipertanyakan seberapa kuat bahwa dia mampu meyakini bahwa  menjadi diri sendiri adalah benar-benar hakikat dari hidupnya. Tentunya sangatlah beruntung bagi seseorang yang mampu mempertahankan hakikat hidupnya, karena saya akan menjamin bahwa orang tersebut adalah orang yang sangat nyaman menjalani hidupnya.
Berubah selalu ada batasnya hingga nanti akan mencapai suatu titik dimana perubahan tersebut tidak akan dimungkinkan lagi. Begitu juga dengan hakikat hidup, dengan tingkat kematangan yang sangat matang tentunya orang tersebut seyakin-yakinnya  akan menemukan sesuatu bahwa sesuatu itulah yang merupakan hakikat hidup sejati. Mengapa saya mengatakan tingkat kematangan yang sangat matang dan seyakin-yakinnya? Karena hakikat hidup sangat membutuhkan proses dimana kematangan yang sangat matang itulah tujuan akhir seseorang hidup yang dipegang hingga akhir hayatnya dan saya sangat yakin dengan hal itu.
Bagaimana dengan orang yang selama hidupnya belum menemukan hakikat hidupnya? Saya sangat yakin bahwa tidak ada orang yang tidak dapat menemukan hakikat hidup. Di detik-detik terakhir hidup seseorang, pasti seseorang akan terlintas tanpa disadari dan secara cepat akan menyadari hal tersebut bahwa itulah hakikat hidup setiap manusia. Terlepas terlambat atau tidak terlambat hanya orang tersebutlah yang mampu mengetahuinya. Namun bagi saya, orang mengalami hal tersebut adalah orang yang tergolong sangat merugi dan tidak dapat menikmati sebuah keindahan dalam hidupnya. 

1 komentar

Sebuah Renungan untuk Olimpiade London


Berbagai kritik masyarakat selalu saja tertuju pada event olahraga empat tahun sekali tersebut.   Tidak lagi pujian dan apresiasi yang diterima, namun hanya cacian-cacian dan kritik pedas yang ditujukan oleh pemerintah yang tak lain adalah Kementerian Pemuda dan Olahraga yang tidak becus  membina para atletnya. Dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 200 ribuan jiwa, sungguh ironi jika tidak ada salah satu pun penduduk Indonesia yang dapat meraih medali emas di Olimpiade London. Kejadian-kejadian ini selalu terjadi berulang-ulang di mana prestasi olahraga Indonesia selalu menghasilkan “yang itu-itu aja”, namun tidak ada respon usaha dari Kementerian pemuda dan olahraga untuk mengatasinya.
Tentunya permasalahan paling klasik dalam konteks olahraga Indonesia adalah pembinaan dan kesejahteraan para atlet.  Pembinaan para atlet seolah hanya sebuah wacana dari setiap pemberitaan namun tidak ada realisasi oleh Kemenpora. Kemenpora hanya sibuk mengurusi politik dan proyeknya yang tersebar di sana-sini. Kementerian lupa bahwa sesungguhnya tolak ukur keberhasilan adalah membina para atletnya untuk menjadi juara. Dengan membina para atlet secara serius, otomatis masyarakat akan lebih tergerak untuk masuk ke bidang olahraga. Selain itu, kesejahteraan para atlet juga harus diperbaiki sehingga minat masyarakat terhadap olahraga semakin tinggi. Sungguh ironi jika kebanyakan pemberitaan di media khususnya para pemuda sekarang ini lebih menjadi seorang artis yang “tidak jelas” daripada menjadi atlet yang mampu mengharumkan nama bangsa.
Untuk membina para atlet seharusnya Menpora memiliki program-program yang jelas dan dijalani secara serius. Tentunya dalam membuat program ini harus lakukan oleh orang yang tahu benar akan kondisi olahraga Indonesia. Kenyataannya kebanyakan orang yang menduduki kementerian dan federasi olahraga di Indonesia adalah bukan dari orang yang tahu tentang olahraga. Mereka biasanya tiba-tiba muncul dari kalangan politisi, penguasa, dan tak lain adalah orang yang “bodoh” dalam bidang olahraga. Mereka hanya orang yang ingin memenuhi kepentingannya entah berupa pencitraan atau kekuasaan. Dalam hal decision maker tentunya mereka tidak bisa mendominasi secara keseluruhan. Perlu adanya orang yang tahu arah dimana olahraga Indonesia ke depannya supaya institusi olahraga tetap eksis dan berprestasi.
Sebuah ironi jika Kemenpora dipegang oleh orang yang tidak tahu benar kondisi olahraga Indonesia. Kemenpora selalu dipegang oleh para politisi yang nol pengalaman dalam bidang olahraga. Sebuah lelucon muncul bahwa Menteri Kemenpora sekarang ini sama sekali tidak memiliki track record olahraga yang jelas dari masa muda sampai menjadi menteri. Belajar tentang olahraga saja tidak pernah apalagi menjadi atlet dan lebihnya apalagi jadi Menteri Kemenpora. Realitanya menteri yang menduduki jabatan Menpora seolah hanya merupakan “boneka” yang menjalankan taktik para penguasa untuk memenuhi kepentingannya. Hal ini terbukti bahwa Menpora sekarang ini sedang tertimpa kasus korupsi yang sekarang ini sedang diusut. Sungguh sedih memang tetapi ini merupakan sebuah renungan bagaimana akibat yang muncul jika suatu permasalahan tidak dipegang oleh orang yang  tepat.